JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mengkhawatirkan masih tingginya ketergantungan sektor industri manufaktur domestik terhadap muatan impor. Pasalnya, hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang akan selalu diikuti kenaikan impor yang signifikan, sehingga berdampak pada tertekannya surplus neraca transaksi berjalan. Bila struktur seperti ini tidak diubah, risiko defisit neraca berjalan akan terus membayangi Indonesia. Neraca pembayaran pun menjadi sangat rentan guncangan.Gubernur BI Darmin Nasution menuturkan, dalam kondisi defisit, di mana sumber pembiayaan tetap mengandalkan arus modal masuk jangka pendek yang volatilitasnya tinggi seperti yang terjadi saat ini, maka neraca pembayaran menjadi sangat rentan. "Kaitan antara struktur industri dengan kerentanan neraca pembayaran masih menjadi persoalan yang perlu sama-sama kita kaji dan carikan solusi," ujarnya dalam ceramah ekonomi di hadapan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) bulan ini, seperti dikutip KONTAN dalam daft daft pidatonya yang dipublikasikan BI di situsnya. Darmin membeberkan, ada ketidakseimbangan komposisi neraca modal dan keuangan. Tahun 2009 lalu, arus masuk modal ke investasi portofolio mencapai US$ 10,3 miliar. Jauh lebih besar dibandingkan investasi langsung jangka panjang atau foreign direct investment (FDI) yang cuma US$ 1,9 miliar. "Kami proyeksikan tahun ini investasi portofolio akan mencapai US$ 15,5 miliar. Sementara FDI akan naik menjadi US$ 9,4 miliar," jelas Darmin.Nah, yang menjadi soal adalah, masuknya FDI ke Indonesia selama ini cenderung berorientasi pasar domestik ketimbang untuk ekspor. Walhasil, FDI yang masuk itu membutuhkan impor tambahan sebagai komponen modal. "Ini membuat kenaikan FDI bisa menyebabkan pula kenaikan impor, dan kembali dapat mengarah pada defisit transaksi berjalan dan terganggunya keseimbangan eksternal," paparnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ketergantungan impor tinggi, neraca pembayaran Indonesia rentan defisit
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mengkhawatirkan masih tingginya ketergantungan sektor industri manufaktur domestik terhadap muatan impor. Pasalnya, hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang akan selalu diikuti kenaikan impor yang signifikan, sehingga berdampak pada tertekannya surplus neraca transaksi berjalan. Bila struktur seperti ini tidak diubah, risiko defisit neraca berjalan akan terus membayangi Indonesia. Neraca pembayaran pun menjadi sangat rentan guncangan.Gubernur BI Darmin Nasution menuturkan, dalam kondisi defisit, di mana sumber pembiayaan tetap mengandalkan arus modal masuk jangka pendek yang volatilitasnya tinggi seperti yang terjadi saat ini, maka neraca pembayaran menjadi sangat rentan. "Kaitan antara struktur industri dengan kerentanan neraca pembayaran masih menjadi persoalan yang perlu sama-sama kita kaji dan carikan solusi," ujarnya dalam ceramah ekonomi di hadapan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) bulan ini, seperti dikutip KONTAN dalam daft daft pidatonya yang dipublikasikan BI di situsnya. Darmin membeberkan, ada ketidakseimbangan komposisi neraca modal dan keuangan. Tahun 2009 lalu, arus masuk modal ke investasi portofolio mencapai US$ 10,3 miliar. Jauh lebih besar dibandingkan investasi langsung jangka panjang atau foreign direct investment (FDI) yang cuma US$ 1,9 miliar. "Kami proyeksikan tahun ini investasi portofolio akan mencapai US$ 15,5 miliar. Sementara FDI akan naik menjadi US$ 9,4 miliar," jelas Darmin.Nah, yang menjadi soal adalah, masuknya FDI ke Indonesia selama ini cenderung berorientasi pasar domestik ketimbang untuk ekspor. Walhasil, FDI yang masuk itu membutuhkan impor tambahan sebagai komponen modal. "Ini membuat kenaikan FDI bisa menyebabkan pula kenaikan impor, dan kembali dapat mengarah pada defisit transaksi berjalan dan terganggunya keseimbangan eksternal," paparnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News