Keterlambatan RKAB Disebut Bikin Impor Nikel RI Membeludak, ESDM Bilang Begini



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementeran Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) buka suara terkait kabar keterlambatan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) memengaruhi produksi nikel di dalam negeri sehingga berdampak pada impor nikel dari Filipina membeludak.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi menyatakan tidak benar persetujuan RKAB membutuhkan waktu yang lama. Pasalnya, sudah ada "buka lapak" dan duduk bareng dengan pengusaha terkait RKAB.

"Coba dicek ke perusahaannya. Kenapa lama? Saat dievaluasi kan ada kekurangannya apa. Setelah lengkapi, kalau lengkap, ya oke. Dan seperti yang sudah beberapa kali disampaikan, bahwa kalau untuk nikel, dari RKAB yang sudah disetujui, sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan," kata Agus di Kementerian ESDM, Jumat (4/10).


Agus memastikan RKAB yang telah disetujui sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan smelter-smelter.

Baca Juga: Kekurangan Pasokan Dalam Negeri, Impor Nikel RI Mendaki

Catatan Kontan, per Juli 2024 nilai impor bijih nikel dari Filipina melonjak 648,18% dibandingkan Maret tahun ini. Nikel diserap ke Weda Bay Industrial Park lewat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yaitu smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang memproduksi bahan baku stainless steel.

Selain itu, PT Kalimantan Ferro Industry (KFI), pengelola smelter nikel di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur juga mengimpor bijih nikel dari negara lain, khususnya dari Filipina mencapai 51.000 ton. Perusahaan tambang dalam negeri tak bisa menjual bijih nikel lantaran belum memiliki persetujuan RKAB dari Kementerian ESDM.

Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo mengatakan, masalah lonjakan masuknya bijih nikel ke Indonesia menjadi sangat wajar dan rasional. Sebab, kata Singgih, harus diakui flow ouput produksi tambang nikel (hulu) dan kebutuhan smleter akan bijih nikel (hilir) menjadi saling sangat terkait kuat.

Singgih menjelaskan, produksi bijih nikel, bagaimana pun akan mengikuti Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang telah dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Namun juga harus diakui di tahun ini, terjadi keterlambatan RKAB, sehingga mempengaruhi jumlah produksi.

"Dari sisi RKAB bijih nikel yang mencapai 250 juta ton, pada dasarnya cukup aman untuk memenuhi kebutuhan smelter, yang saat ini sekitar sebesar 200 juta ton," kata Singgih kepada Kontan, Kamis (3/10).

Namun, Singgih menyampaikan keterlambatan RKAB dan juga banyak faktor di sisi tambang, volume produksi menjadi di bawah kebutuhan smelter. Bersamaan masuk bijih nikel dari Philipina yang cukup besar dan dengan harga yang kompetitif.

Menurut Singgih, solusinya jelas dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) harus mengevaluasi RKAB untuk melatakkan peningkatan produksi menjadi poin utama.

Ketum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menerangkan berdasarkan data yang diperoleh oleh Perhapi dari suatu sumber menyatakan jumlah nickel ore yang diimpor sampai Juli 2024 sudah mencapai 3.3 juta ton.

"Hal ini lebih disebabkan karena kurang pasokan dari dalam negeri akibat masalah persetujuan RKAB yang belum selesai semua. Sehingga sebagian penambang nikel tidak bisa beroperasi karena belum mendapatkan persetujuan RKAB," ujar Rizal kepada Kontan, Kamis (3/10).

Rizal menilai smelter-smelter mengambil langkah untuk melakukan impor bijih nikel dari negara lain terutama Filipina yang merupakan salah satu negara pemilik cadangan nikel terbesar dunia. Selain itu, pertimbangan lain adalah jarak Filipina ke Halmahera juga lebih dekat secara geografis.

Baca Juga: Satu Dasawarsa Pemerintahan Jokowi Membangun Konektivitas hingga Pelosok Negeri

Selanjutnya: Prospek AUD dan JPY Tetap Menarik di Tengah Tekanan Mata Uang Utama

Menarik Dibaca: Resep Sup Ayam Tauco Halal, Terinspirasi dari Menu Swike Khas Jatiwangi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati