KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keterlibatan akademisi dalam perumusan regulasi diharapkan dapat dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan. Harapannya, akademisi bisa berpartisipasi aktif dalam melakukan kajian ilmiah yang hasilnya nanti dapat dijadikan acuan bagi pemerintah dalam menyusun regulasi untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan di Indonesia, termasuk prevalensi merokok. Demikian salah satu pembahasan dalam Guest Lecture "Challenge in the Use of Evidence to Inform Policy" yang diselenggarakan Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu. Health Policy Analysis Coordinator Evidence-Based Health Policy Center IMERI-FKUI, Ahmad Fuady, menjelaskan, keterlibatan akademisi saat ini dalam perumusan suatu regulasi belum dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan. Hal ini terlihat pada tingkat partisipasi akademisi dalam perumusan kebijakan, baik di level undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan kepala daerah, hingga dinas kesehatan kota/kabupaten. “Contoh di undang-undang, kita tidak bisa terapkan 100% akademisi terlibat dan berikan kontribusi kontekstual. Tapi kalau bicara di daerah, itu level keterlibatan akademisi sangat tinggi,” ujar Ahmad, seperti dikutip Minggu (22/12).
Keterlibatan Akademisi Dalam Perumusan Regulasi Kesehatan Perlu Dimaksimalkan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keterlibatan akademisi dalam perumusan regulasi diharapkan dapat dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan. Harapannya, akademisi bisa berpartisipasi aktif dalam melakukan kajian ilmiah yang hasilnya nanti dapat dijadikan acuan bagi pemerintah dalam menyusun regulasi untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan di Indonesia, termasuk prevalensi merokok. Demikian salah satu pembahasan dalam Guest Lecture "Challenge in the Use of Evidence to Inform Policy" yang diselenggarakan Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu. Health Policy Analysis Coordinator Evidence-Based Health Policy Center IMERI-FKUI, Ahmad Fuady, menjelaskan, keterlibatan akademisi saat ini dalam perumusan suatu regulasi belum dimaksimalkan oleh para pembuat kebijakan. Hal ini terlihat pada tingkat partisipasi akademisi dalam perumusan kebijakan, baik di level undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan kepala daerah, hingga dinas kesehatan kota/kabupaten. “Contoh di undang-undang, kita tidak bisa terapkan 100% akademisi terlibat dan berikan kontribusi kontekstual. Tapi kalau bicara di daerah, itu level keterlibatan akademisi sangat tinggi,” ujar Ahmad, seperti dikutip Minggu (22/12).