Ketidakpastian baru



Persepsi positif dunia akan kejayaan Indonesia menghelat Asian Games 2018 tidak menular pada rupiah. Gemerlap Asian Games Indonesia justru berbanding terbalik dengan rupiah yang merana.

Pekan-pekan ini bahkan kita melihat rupiah sempat terpuruk ke level 15.000 per dollar AS, dalam waktu sangat singkat dan cepat. Rupiah pun berada di posisi terburuk dua dekade terakhir.

Sejauh ini, banyak kalangan tetap meyakini bahwa episentrum penekan rupiah berasal dari luar negeri. Entah itu agenda kenaikan bunga acuan Amerika Serikat, perang dagang di pasar global, hingga efek negatif krisis sejumlah negara.


Sementara ekonomi dalam negeri sebenarnya baik-baik saja. Oleh karena itu, resep sesungguhnya yang dibutuhkan untuk meredam gejolak rupiah adalah upaya menenangkan pasar supaya tidak semakin panik.

Persoalannya, sejumlah upaya meredam gejolak mata uang ini justru memberi segurat rona kepanikan. Lebih jauh lagi, ada beberapa agenda aksi penyelamatan rupiah justru berkebalikan dengan misi besar pemerintahan tentang pembangunan, mengundang investasi serta menarik devisa sebesar-besarnya.

Salah satu contoh agenda aksi yang tengah disorot adalah rencana penundaan sejumlah proyek kelistrikan bernilai sekitar US$ 23 miliar. Dengan argumentasi menghemat devisa negara, proyek infrastruktur strategis itu ditunda.

Aneh, komitmen investasi miliaran dollar yang sudah di depan mata malah ditangkal. Pun tanpa dasar hukum kuat untuk melakukannya.

Padahal, proses impor barang-barang kebutuhan proyek itu baru terjadi beberapa bulan ke depan. Dengan kata lain, pemerintah menarik ketakutan di masa depan ke persoalan jangka pendek saat ini.

Boleh jadi urusan menunda proyek bagi pemerintah tampak remeh. Namun jangan lupa, urusan ini bisa berdampak tak sepele jika kita cermati lebih jauh.

Maklum, di balik setiap proses agenda investasi para pemodal melibatkan pihak-pihak lain. Entah itu calon kreditur, hingga para pemasok. Lantaran berkategori megaproyek, pendanaannya pun melibatkan investor besar dari luar negeri.

Niat pemerintah menunda segepok proyek vital bernilai ratusan triliun rupiah, tak ubahnya sinyal ketidakpastian baru dan menyulut keraguan terhadap kredibilitas dan komitmen Indonesia di mata investor; benarkah Indonesia serius memperbaiki iklim investasi dan memberi kepastian berusaha?

Ihwal mengatasi "kegentingan" rupiah, tidak ada salahnya untuk melihat lagi dan menimbang rezim impor minyak selama ini, plus beleid subsidi harga bahan bakar minyak. Jika dibedah lebih dalam, biang keladi defisit neraca pembayaran dan volatilitas rupiah dari sini. Mungkin karena tahun politik, ya, subsidi harga BBM lebih diutamakan ketimbang kepastian usaha.•

Barly Haliem Noe

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi