KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi global masih diliputi awan gelap dan tingginya ketidakpastian yang akan berdampak pada semakin beratnya dunia usaha nasional. Dalam laporan terbarunya, International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,2% pada tahun ini, dan 2,9% pada 2023. Perang antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan krisis pangan dan energi serta menimbulkan ancaman inflasi di banyak negara. Di Indonesia, meski angka inflasi relatif masih terjaga, namun sejumlah harga pokok di Indonesia telah mengalami penaikan di tahun ini. Sebut saja seperti minyak goreng, LPG nonsubsidi, kedelai, dan tarif listrik beberapa golongan dan nonsubsidi. Sejumlah komoditas juga terancam mengalami penaikan harga seiring pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Carmelita Hartoto, Ketua Umum DPP
Indonesian National Shipowners' Association (INSA) mengatakan kondisi ketidakpastian dunia dan ancaman inflasi telah membuat kinerja sektor pelayaran nasional semakin berat.
Baca Juga: INSA Tidak Melihat Adanya Kelangkaan Kapal untuk Ekspor CPO Beban berat pelayaran nasional sudah mulai terasa seiring terjadinya penaikan harga bahan bakar MFO dari PT Pertamina (persero) sejak Januari hingga uni 2022 yang mengalami kenaikan sebesar kurang lebih 22,5%. Kenaikan harga bahan bakar non subsidi telah menambah beban operasional transportasi laut, mengingat biaya bahan bakar berkontribusi sekitar 40%-50% terhadap total biaya operasional perusahaan pelayaran. Carmelita menuturkan, kenaikan harga bunker juga berdampak pada operasional kapal tunda yang dipakai untuk
assist penyandaran kapal oleh PT Pelindo dan Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Kenaikan harga bahan bakar ini telah membuat PT Pelindo selaku operator pelabuhan mengusulkan adanya pengenaan biaya tambahan bahan bakar (
fuel surcharge) pada pelayanan jasa penundaan di pelabuhan. "Meski beban biaya semakin berat saat ini, namun pelayaran nasional tetap berkomitmen melayani distribusi barang melalui angkutan laut dengan pelayanan terbaik,” kata Carmelita, Rabu (27/07/2022).
Baca Juga: Kongesti di Pelabuhan Utama Berkurang, INSA: Ocean Freight Rate Sudah Mulai Turun Tidak sampai di situ, beban pelayaran nasional semakin berat seiring pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang menyentuh di kisaran Rp 15.000. Pelemahan nilai tukar rupiah ini, sambung Carmelita, telah menambah beban biaya pelayaran nasional khususnya saat melakukan perawatan kapal, karena biaya spare part kapal sebagian besar lebih banyak diimpor dan pembeliannya menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat. Carmelita menilai, beban berat pelayaran nasional seiring kenaikan harga bahan bakar dan pelemahan nilai tukar rupiah perlu dicarikan solusi bersama, baik oleh perusahaan pelayaran nasional, pemerintah, pemilik barang maupun stakeholder pelayaran lainnya.
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Naik, INSA Harap Pemerintah Pertahankan Harga Bahan Bakar Salah satu solusinya dengan memberlakukan
fuel surcharge pada pelayaran kontainer domestik seperti yang diterapkan PT Pelindo dalam pelayanan jasa penundaan di pelabuhan. “Pemberlakuan
fuel surcharge merupakan hal yang logis di industri transportasi. Tentu dalam pemberlakuannya pelayaran nasional mempertimbangkan tingkat daya beli masyarakat sehingga tidak menghambat pemulihan ekonomi nasional,” katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli