Ketidakpastian Kebijakan Hambat Pertumbuhan Manufaktur Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman Indonesia (AKLP) mengkhawatirkan atas terus berlanjutnya kontraksi sektor manufaktur.

Ketua Umum AKLP, Yustinus Harsono Gunawan, mengatakan kontraksi sektor manufaktur dipicu ketidakpastian kebijakan energi, tensi geopolitik yang semakin tinggi, perang dagang, serta melemahnya ekonomi negara-negara maju.

Oleh karena itu, menurutnya, para pelaku usaha cenderung bersikap "wait and see" terhadap iklim investasi di tengah situasi yang penuh tantangan ini.


Baca Juga: ESDM Rilis Aturan Baru, AKLP Ungkap Belum Ada Kepastian Kelanjutan HGBT Tahun Depan

Yustinus mengatakan, salah satu faktor wait and see di kalangan pelaku usaha adalah kelanjutan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang belum pasti untuk tahun depan.

"Kepmen ESDM 255/2024 hanya mencantumkan harga dan pasokan sampai dengan 2024. Sehingga harga 2025 menjadi tidak pasti," ujar Yustinus kepada Kontan.co.id, Jumat (1/11).

Ia mengungkapkan bahwa pemerintah sempat menjanjikan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) untuk memberikan jaminan pasokan dan harga, termasuk menerapkan kebijakan semacam Domestic Market Obligation (DMO) bagi gas bumi.

"Misalnya 80% produksi semua sumur gas harus untuk domestik dengan harga affordable, misalnya US$ 6,5 at plant gate, PP dan regulasi pelaksana berlaku Januari 2025," katanya.

Baca Juga: Kinerja Industri Kaca Lembaran dan Pengaman Diharapkan Tumbuh Positif pada 2024

Menurutnya, kepastian harga dan pasokan tersebut akan menghilangkan status wait and see yang kini menghambat kinerja manufaktur Indonesia. Ia menyoroti, perlunya pemerintah untuk bergerak cepat dalam menetapkan kebijakan tersebut.

Jika pemerintah lamban menerbitkan PP HGBT, maka Foreign Direct Investment (FDI) kemungkinan besar akan mengalir ke negara-negara yang agresif menawarkan berbagai kemudahan dan terobosan, bukan ke Indonesia.

Sebagai informasi, Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur Indonesia tercatat masih lemah ke level 49,2 atau berada pada level kontraksi pada Oktober 2024.

Baca Juga: Alami Pengurangan Kuota Gas Industri, Kinerja Industri Kaca Dipastikan Menurun

Angka ini tidak berubah jika dibandingkan September 2024 yang juga berada di 49,2. Dengan begitu, PMI Manufaktur Indonesia masih terjebak di zona merah atau mengalami kontraksi selama empat bulan berturut-turut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli