Ketidakpastian Masih Tinggi, BI Perlu Turun Tangan Lagi untuk Intervensi Rupiah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketidakpastian pasar keuangan global masih membayangi pergerakan nilai tukar rupiah.  

Ekonom Senior Bank Central Asia (BCA) Barra Kukuh Mamia melihat, besar kemungkinan Bank Indonesia (BI) akan turun tangan melakukan intervensi selama beberapa waktu ke depan. 

"Ini guna, mencegah tekanan yang terlampau ekstrem," tutur Barra dalam laporan yang diterima Kontan.co.id, Selasa (10/10). 


Tekanan yang ada sudah cukup nyata. Seperti, nilai tukar rupiah yang terus melemah selama beberapa waktu terakhir seiring dengan makin perkasanya dolar Amerika Serikat (AS). 

Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah pada Rabu (11/10), Dipicu Konflik Geopolitik Timur Tengah

Didukung dengan data ekonomi AS yang masih kuat, khususnya di pasar tenaga kerja dan harga minyak yang makin mendidih. 

Sehingga pasar masih percaya kebijakan moneter The Federal Reserve (The Fed) tetap ketat dalam jangka waktu yang lebih lama. 

Penguatan dolar AS dan sentimen global yang ada kemudian mendorong arus modal asing hengkang dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Setidaknya hingga akhir September 2023, arus modal asing hengkang US$ 1,1 miliar dari pasar obligasi dan US$ 260 juta dari pasar saham. 

Kemudian, terlihat juga imbal hasil surat utang pemerintah tenor 10 tahun sudah mendekati 7%. 

Kondisi tersebut jugalah yang kemudian menggerus cadangan devisa Indonesia sebesar US$ 2,2 miliar pada akhir September 2023, menjadi US$ 134,9 miliar. 

Nah, Barra menilai cadangan devisa BI ini masih akan memiliki peran penting dalam mengelola risiko nilai tukar rupiah di jangka pendek. 

Terlebih, risiko utama pelemahan rupiah masih terletak pada pembayaran utang dalam valuta asing. 

 Baca Juga: Investor Memburu Mata Uang Safe Haven Akibat Perang Israel-Hamas

Mengutip data Bloomberg, sekitar US$ 9,1 miliar obligasi pemerintah berdenominasi valas akan jatuh tempo sampai dengan pertengahan 2024. 

Belum lagi ada nominal sebesar US$ 2,0 miliar untuk obligasi badan usaha milik negara (BUMN) dan US$ 1,1 miliar untuk obligasi sektor swasta. 

"Dengan demikian, cadangan devisa masih akan punya peran penting dalam jangka pendek, sampai akhirnya nanti (kondisi) membaik di jangka panjang," tandas Barra. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi