KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Laju tinggi inflasi Amerika Serikat (AS) masih berlanjut. Inflasi AS pada bulan Juni mencapai 9,1% secara tahunan, tertinggi dalam 41 tahun terakhir. Selepas pengumuman tersebut, pasar kembali diselimuti ketidakpastian seiring munculnya kekhawatiran The Fed akan lebih agresif untuk meredam inflasi. Dengan meningkatnya ketidakpastian, instrumen
safe haven pun kembali menjadi buruan pelaku pasar. Emas yang dikenal memiliki nilai lindung terhadap inflasi, justru tak berdaya di tengah kondisi saat ini. Pasalnya, hari ini, Jumat (15/7), harga emas spot sudah berada di level US$ 1.702,48 per ons troi. Padahal, pada awal Maret ini harganya masih berada di US$ 2.050,76 per ons troi. Jika dihitung dari posisi tersebut, harga emas spot sudah terkoreksi 20,46%.
Baca Juga: Tren Surplus Neraca Perdagangan Diproyeksi Masih Bertahan, Tapi Berpotensi Susut Sementara itu, dolar Amerika Serikat (AS) yang merupakan salah satu aset
safe haven justru punya kinerja yang jauh lebih moncer. Kinerja indeks dolar AS terus mengalami kenaikan sejak awal tahun. Mengawali tahun ini di posisi 95,59, kemarin, (14/7), indeks dolar AS bahkan sempat menyentuh level 109,12. Artinya, secara
year to date sudah naik 14,15%. CEO Edvisor.id Praska Putrantyo menyebutkan, saat ini yang terjadi di pasar adalah inflasi melaju tinggi, namun pertumbuhan ekonomi justru belum optimal karena terganggunya rantai pasokan serta daya beli yang masih lemah. Sementara emas baru akan prospektif jika inflasi tinggi, namun juga diiringi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. “Oleh karena itu, dolar AS jadi lebih pilihan karena jauh lebih likuid, serta secara kinerja juga berpotensi jauh lebih prospektif dibanding emas,” ungkap Praska ketika dihubungi Kontan.co.id, Jumat (15/7).
Baca Juga: Inflasi Makin Tinggi, Aset Safe Haven Jadi Incaran Pelaku Pasar Menurut Praska, sejauh ini dolar AS diuntungkan dengan agresifnya The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan demi meredam inflasi. Walaupun hal tersebut memang berpotensi membuat ekonomi AS lebih rentan terpukul, ia meyakini AS masih dapat melalui tekanan yang muncul dari agresifnya kebijakan moneter. Walaupun kondisi pasar diselimuti tekanan dan pamor
safe haven makin tinggi, Praska menyebut investor tidak perlu untuk memperbanyak porsi
safe haven. Menurutnya, investor masih tetap bisa masuk ke pasar modal di tengah kondisi ini sekalipun. Namun, dia menyebut sebaiknya porsi pada instrumen saham dikurangi karena ada potensi terhambatnya kinerja emiten di tengah iklim ekonomi saat ini. Oleh karena itu, Praska menilai masuk ke pasar obligasi bisa menjadi pilihan yang lebih menarik. Menurutnya, obligasi korporasi maupun SBN yang bertenor pendek jauh lebih ideal sebagai pilihan.
Baca Juga: Beberapa Faktor Ini Membebani Pergerakan Harga Emas “Obligasi ini kan
fixed income yang membagikan kupon, jadi saat ini masih tetap menarik. Secara risiko, juga jauh lebih terukur dan untuk yang tenor pendek pergerakannya juga tidak
volatile,” imbuh Praska. Selain itu, momentum koreksi yang menimpa pasar obligasi juga bisa dijadikan sebagai jendela untuk masuk. Apalagi, ketika Bank Indonesia sudah menaikkan suku bunga acuan, pasar akan
priced in dan pergerakannya diharapkan bisa lebih baik. Praska menilai, saat ini pelaku pasar masih menantikan Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan. Baginya, tidak ada alasan BI masih menunda-nunda menaikkan suku bunga acuan. Terlebih jika The Fed pada FOMC meeting bulan ini kembali menaikkan suku bunganya sebesar 75 bps.
Baca Juga: Harga Emas Terkoreksi, Inflasi dan Resesi Masih Membayangi Dia meyakini BI harus segera melakukan penyesuaian suku bunga. Pasalnya, saat ini
spread suku bunga Indonesia dan AS sudah menyempit. Jika terus dibiarkan, hal tersebut membuat investor asing menahan diri untuk masuk, sementara investor domestik masih akan
wait and see. “Lagipula, kenaikan suku bunga acuan seharusnya tidak akan terlalu memukul pertumbuhan ekonomi. Level saat ini masih
affordable bagi para pelaku usaha, jadi sebaiknya memang segera melakukan penyesuaian,” tutup dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati