KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana asing bergerak keluar di awal tahun 2025 ini. Namun tekanan ini diperkirakan akan berkurang seiring membaiknya perpolitikan di Uni Eropa sehingga risiko defisit fiskalnya membaik. Berdasarkan data perkembangan indikator stabilitas nilai rupiah Bank Indonesia (BI), periode 30 Desember - 2 Januari tercatat beli neto Rp 1,08 triliun. Namun, periode 6 - 9 Januari, tercatat jual neto Rp 4,38 triliun. Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana menyebutkan keluarnya dana asing dari Indonesia tidak serta merta akibat Trump Effect saja, melainkan juga politik di Uni Eropa yang sedang tidak baik.
Baca Juga: Ketidakpastian Global Tinggi, Simak Instrumen Investasi Berpotensi Menguntungkan "Sehingga penyeimbang ekonomi AS tidak ada," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (12/1). Hal itu juga terlihat dari nilai mata uang utama yang takluk terhadap kekuatan dolar AS. Alhasil, ada
capital flight ke aset-aset yang lebih aman. Namun, tekanan secara global itu dinilai akan membaik seiring selesainya pemilu di Perancis dan Jerman. Dengan kejelasan politik, diharapkan dapat menurunkan risiko defisit fiskal di Uni Eropa secara keseluruhan. Di sisi lain, dari dalam negeri Fikri melihat indikator makro pada awal tahun ini sangat positif, baik dari defisit fiskal, indeks keyakinan konsumen, hingga kenaikan UMP. "Walaupun memang ada ketidakpastian legal sehingga risiko masih tinggi," sebutnya. Dengan ketidakpastian yang masih berlangsung dan dana asing masih keluar, Fikri memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG) dan yield SUN 10 tahun belum akan bergerak jauh dari posisi saat ini.
Baca Juga: Instrumen Investasi Saham Jadi Jawara di Agustus, Cek Saran Analis di September Untuk IHSG diproyeksikan pada kuartal I direntang 7.000 - 7.200, sementara
yield dikisaran 7%-7,3%. "Jika sudah kembali masuk, harapannya ada sentimen
bullish, tetapi masih cukup sulit untuk menghitungnya, tergantung jumlah dana asing yang masuk juga," jelasnya. Dengan kondisi saat ini, Fikri menilai pasar uang menjadi pilihan yang menarik. Selain itu, investor juga bisa memanfaatkan SRBI sembari menunggu asing kembali masuk, mengingat imbal hasil yang ditawarkan tinggi dengan tenor 12 bulan. "Untuk saham dan obligasi bisa tetap ada
exposure, tetapi mungkin tidak signifikan," sebutnya. Ia menjelaskan, saham-saham LQ45 banyak yang murah, bahkan mendekati valuasi saat Covid-19 sehingga menarik untuk dikoleksi kembali. Sektor perbankan, konsumsi, telekomunikasi, dan menara menjadi sejumlah sektor yang menarik. Selain itu juga beberapa saham properti disebut mulai menarik.
Baca Juga: BI Pangkas BI Rate Jadi 6%, Bagaimana Efeknya ke Instrumen Investasi Domestik? Sementara untuk obligasi, Fikri menilai tenor jangka menengah, yakni 8-15 tahun cukup menarik seiring yield SUN 10 tahun yang
flattening.
"Namun dengan kondisi yang tidak menentu saat ini, mungkin bisa diimbangi dengan tenor-tenor yang lebih pendek karena
yield flattening juga tidak terlalu tinggi," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli