KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyaknya kasus yang menimpa pelaku industri asuransi dalam beberapa bulan terakhir salah satu penyebabnya adalah karena pelaku usaha yang mengabaikan unsur kepatuhan dalam menjalankan bisnis. Salah satu sisi kepatuhan terhadap semua aturan yang ada memang menjadi tambahan ongkos atau
cost dalam operasional bisnis. Namun, masalah yang muncul akibat dari ketidakpatuhan bisa menjadi lebih besar ketimbang dari ongkos menjalankan kepatuhan itu sendiri. Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk Dialektika Hukum Praktek Kepatuhan di Era Millenial yang digelar oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum (MIH) Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta, Sabtu (18/3) di Kampus UGM Jakarta.
Pada diskusi itu para pembicara mengulas kepatuhan terhadap aturan dari sudut pandang industri asuransi, industri jasa konstruksi dan perspektif litigasi. Hani Kusumowardhani, Direktur Kepatuhan PFI Mega Life Insurance menjelaskan, dari sisi industri asuransi, saat ini sudah banyak aturan agar bisnis ini berjalan dengan baik, terutama dari sisi kepastian berusaha, perlindungan konsumen, hingga perlindungan data konsumen. Hanya saja dalam pelaksanaan di lapangan kadangkala ada salah satu sub bisnis yang mengabaikan bahkan menabrak aturan yang sudah dibuat oleh perusahaan sesuai dengan panduan dari otoritas. "Misalnya dengan status kemitraan atau keagenan tentunya perlakuannya berbeda dengan kekaryawanan," kata Hani. Hani mengelompokkan setidaknya ada lima kategori kepatuhan yang harus dijalankan oleh pelaku usaha asuransi. Pertama kepatuhan melaporkan transaksi mencurigakan untuk mencegah tindak pidana pencucian uang atau Anti Money Laundering (AML) dan Combatting the Financing of Terrorism (CFT). Kedua, kepatuhan melaporkan transaksi mencurigakan untuk mencegah tindak pidana suap korupsi dan sanksi-sanksi tertentu. Ketiga, kepatuhan dalam melaksanakan perlindungan data pribadi. Perlindungan data pribadi ini bertujuan untuk melindungi hak mendasar atas privasi dan mematuhi undang-undang pengaturan data. "Perlindungan data pribadi ini yang teknisnya masih kami pelajari karena aturannya baru," terang Hani. Keempat, kepatuhan dalam praktik marketing dan sales produk asuransi. Pada tahap ini, Hani menegaskan bahwa tiap personel marketing harus memastikan bahwa semua proses penjualan telah sesuai dan sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Selain itu pelanggan atau customer harus paham dengan produk yang akan mereka beli, baik manfaat yang akan mereka terima maupun tingkat risiko yang harus ditanggung oleh customer. "Yang jadi masalah adalah nasabah tidak mengerti apa yang ada di kontrak polis, karena kontraknya menggunakan bahasa hukum yang mungkin susah dimengeri, tugas marketing untuk menjelaskan," katanya. Poin kelima adalah kepatuhan pelaku usaha terhadap aturan perundang-undang-undangan, peraturan otoritas, pedoman dan spesifikasi yang relevan dengan proses bisnis perasuransian. Dari berbagai jenis kepatuhan yang harus dijalankan pelaku usaha ini memang menyebabkan proses bisnis berjalan lebih panjang dan pada ujungnya meningkatkan sisi biaya. "Misalnya tim kontrol harus menelepon lagi setiap nasabah sebelum terjadi transaksi, untuk memastikan apakah nasabah sudah paham dengan manfaat dan risiko produk yang akan mereka beli," katanya.
Jasa Konstruksi
Sementara dari sisi Industri Jasa Konstruksi, tingkat kepatuhan terhadap peraturan bisa menyebabkan hal yang fatal misalnya keselamatan kerja.
Vice President Corporate Secretary PT Patra Badak Arun Solusi (PBAS) Suparjono menyebut di bisnis jasa konstruksi ada ribuan aturan yang wajib dipatuhi oleh pelaku usaha. "Ada 42.161 aturan yang harus dilaksanakan pelaku usaha," kata Suparjono. Aturan ini berupa Peraturan menteri sebanyak 17.486, lalu peraturan daerah sebanyak 15.982, peraturan pemerintah pusat sebanyak 4000, dan peraturan lembaga non pemerintah sebanyak 4.711. Rata-rata aturan ini banyak mengatur tentang Keselamatan, Keamanan & Kesehatan Lingkungan Kerja (K3). Menurut Suparjono, tingkat kepatuhan dapat mengurangi kesalahan atau kelalaian perusahaan. Selain itu kepatuhan justru berfungsi untuk mendorong perubahan dan inovasi oleh pelaku usaha. "Tanpa kepatuhan perusahaan tidak dapat membangun dan mempertahankan kredibilitas, bahkan berisiko memiliki reputasi buruk," katanya. Akhmad Zaenudin, praktisi hukum dari Kantor Hukum Azlaw sepakat bahwa dengan menerapkan sistem kepatuhan, maka korporasi turut serta menciptakan tatanan keadilan, kepastian hukum, dan manfaat bagi masyarakat.
Ia mengingatkan ketidakpastian akan memicu sengketa antara perusahaan dengan perusahaan lain maupun dengan para customer. "Biaya litigasi seperti ini yang bisa jadi menambah beban karena mahal," katanya. Ninik Darmini, Sekretaris Program Studi MIH Kamus Jakarta berharap dengan
sharing antara pelaku usaha, praktisi hukum dan mahasiswa yang digelar bersama Keluarga Alumni MIH 35 UGM Jakarta, bisa menambah wawasan langsung bagi mahasiswa hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta baik yang ada di Jakarta maupun di Yogyakarta. "
Sharing pengalaman langsung dengan praktisi seperti ini yang tidak didapatkan di bangku kuliah," katanya. Sementara, Teukoe Harmanshah, Ketua Ikatan Keluarga Alumni Angkatan 35 (IKA 35) MIH UGM menargetkan diskusi seperti ini akan berlanjut, karena merupakan program untuk mempertemukan dunia teori dan dunia praktek dan menjadi wadah untuk berdiskusi dan berbagi pengetahuan. "Bisa mempertemukan profesional pemimpin perusahaan, pengacara, praktisi, yang berpengalaman dengan lulusan mahasiswa hukum, praktisi bidang hukum yang ingin menambah pengetahuannya lebih komprehensif," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Syamsul Azhar