Ketika Amerika menganggap yuan sebagai subsidi



WASHINGTON. Menganggap mata uang sebagai subsidi terdengar sebagai sikap yang aneh. Tapi, Amerika Serikat (AS) benar-benar melakukan ini. Bahkan, para wakil rakyat negeri itu ingin mengatur hal ini dengan undang-undang. Ya, Rabu (29/9), House of Representative AS telah menyetujui rancangan undang-undang yang akan menekan China untuk membiarkan nilai tukar mata uang yuan menguat terhadap dollar AS. Dalam voting, 348 orang menyetujui rancangan UU itu dan hanya 79 wakil rakyat yang menolak. Berdasarkan rancangan aturan ini, Departemen Perdagangan AS bakal memperlakukan mata uang yang sangat undervalued (kursnya jauh lebih rendah dari nilai wajarnya) sebagai subsidi perdagangan ilegal. Karena itu, perusahaan-perusahaan AS yang merasa dirugikan bisa meminta Pemerintah AS untuk mengenakan bea masuk ekstra terhadap produk-produk yang memperoleh subsidi ilegal itu. Sangat jelas bahwa sasaran utama aturan ini adalah yuan. Sebab, selama ini, AS menilai mata uang negeri Tembok Raksasa itu sangat undervalued. Ini membuat barang-barang asal China menjadi sangat murah di Amerika sehingga produk lokal kalah bersaing. Ujung-ujungnya, defisit neraca perdagangan AS-China semakin lebar. "Sikap China yang terus memanipulasi mata uangnya menimbulkan masalah yang sangat serius dan ini butuh tindakan riil," ujar Sander Levin Chairman Ways and Means Comitee House of Representative. Sejatinya, yuan telah menguat 2% terhadap dollar AS sejak Pemerintah China melonggarkan kisaran (range) pergerakan nilai tukar yuan Juni lalu. Namun, International Monetary Fund (IMF) memperkirakan, nilai tukar mata uang Negeri Panda itu masih undervalued 5%-27%. Catatan saja, saat ini, nilai tukar yuan berada pada kisaran 6,6850 yuan per dollar AS.Meskipun demikian, rancangan aturan ini masih harus melalui pembahasan di Senat AS. Dan, pembahasan di level Senat baru akan berlangsung setelah AS menggelar pemilihan anggota Konggres tengah periode (mid term election) pada 2 November lalu.

Sampai hari sidang di Senat AS itu tiba, banyak hal masih mungkin terjadi. Sebab, tak semua pengusaha AS setuju dengan rancangan aturan itu. Bahkan, para pengusaha AS yang berbisnis di China terang-terangan menolak kerasa rancangan aturan itu. Sebab, aturan baru ini bisa membuat Pemerintah China mempersulit posisi bisnis mereka di negeri itu.


Editor: Cipta Wahyana