YOGYAKARTA. Kalau istilah pasukan diakui sebagai istilah universal, maka serangan pasukan tidak beridentitas ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (23/3) dini hari, terasa sebuah peristiwa yang sama sekali tidak terduga. Kasus tersebut seperti menorehkan warna lain kondisi Yogyakarta yang selama ini nyaman dan aman. Keempat korban yang ditembak mati oleh pasukan tidak beridentitas itu adalah tersangka pembunuh anggota Komando Pasukan Khusus Sersan Satu Santoso yang terjadi tiga hari sebelumnya.Banyak warga Yogyakarta, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Yogyakarta, Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta, Masyarakat Aliansi Yogyakarta, dan elemen masyarakat lainnya, menilai kasus itu sebagai peristiwa sadis yang menyeruak di tengah kenyamanan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta selama ini.Kasus penyerbuan ke LP Cebongan dinilai merupakan puncak perhatian, bahwa kenyamanan DIY mulai terusik. Peristiwa ini merupakan kasus kebiadaban terakhir dari serangkaian tindak kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini di Yogyakarta.Sebelum peristiwa itu terjadi, ada anggota TNI yang ditusuk dua kelompok yang bertikai, beberapa kali terjadi pertikaian antara warga pendatang (mahasiswa dari luar daerah) dan warga kampung, penyerbuan oleh warga pendatang ke kampung di wilayah Yogyakarta, bahkan sering terjadi kasus penusukan antarmahasiswa. Tragedi berdarah di sebuah kafe tidak hanya sekali terjadi.Bagi masyarakat Yogyakarta, rentetan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini sebagai peristiwa yang aneh dan mengejutkan. Peristiwa ini mencederai Yogyakarta sebagai daerah yang dikenal sebagai Indonesia mini karena banyaknya pendatang, terutama mahasiswa, dari berbagai kelompok etnis di Indonesia. Pluralitas yang menjadi keindahan Yogyakarta seperti berbalik menjadi ketakutan.Buktinya, peristiwa penembakan brutal di LP Cebongan terhadap empat korban yang semuanya warga Nusa Tenggara Timur (NTT) itu telah membikin warga NTT yang tinggal di Yogyakarta ketakutan. Meski tidak terjadi eksodus besar-besaran, ada warga NTT yang meninggalkan Yogyakarta karena ketakutan.Meski demikian, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X, yang saat ditelepon Gubernur NTT sedang berada di luar negeri, menyatakan sanggup dan bertanggung jawab terhadap kenyamanan warga NTT di Yogyakarta. Demikian pula Kapolda DIY Sabar Rahardjo yang menyatakan hal yang sama.Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, menyatakan, Yogyakarta selama ini memang masih tetap memiliki budaya harmoni yang terkadang bisa membantu memecahkan persoalan yang menyangkut daerah lain. Namun, kalau modal budaya ini tidak dipelihara dan dikembangkan, lama-kelamaan modal budaya itu akan menipis.”Inilah yang harus diwaspadai Yogyakarta. Bagaimana terus mempertebal modal budaya ini sehingga mampu mengatasi bangun masyarakat Yogyakarta yang memang ditakdirkan berada dalam heterogenitas. Peristiwa kekerasan di Yogyakarta ini merupakan peringatan bagi Yogyakarta,” katanya.Tetap mampuMeski demikian, Arie menyatakan, peristiwa yang terjadi di Yogyakarta ini belumlah merupakan musibah besar yang tidak bisa diatasi. Yogyakarta masih memiliki kekuatan untuk memangku pluralisme sebagai wajah harmoni Yogyakarta.Memang benar apa yang dikatakan Arie. Sekitar tahun 1970-an di Yogyakarta terjadi ketegangan yang cukup mengkhawatirkan dengan adanya percekcokan antarkelompok etnis. Namun, sejak itu kondisi Yogyakarta terus berjalan nyaman, tak pernah lagi ada ketegangan yang berarti.Bahkan, ketika peristiwa Mei 1998, Yogyakarta yang multietnis itu dengan gampang diincar sebagai ajang kerusuhan. Sempat ada pelemparan terhadap gedung-gedung, tetapi sama sekali tidak timbul kerusakan. Itu terjadi setelah Gubernur DIY terjun langsung ke lapangan, berkeliling ke segala penjuru Kota Yogyakarta, dengan mengeluarkan imbauan lewat pengeras suara. Kerusuhan pun tak terjadi. Itu tidak semata-mata atas kekuatan Sultan HB X, tetapi disertai pula komitmen masyarakat yang peduli menjaga Yogyakarta.Sampai sekarang Gubernur DIY yang juga Raja Yogyakarta itu senantiasa turun ke lapangan di saat terjadi ketegangan antarwarga. Seperti peristiwa Desember tahun lalu, Sultan HB menghadiri perayaan Natal bersama di Dusun Tambakbayan, Depok, Sleman, yang saat itu baru saja terjadi ketegangan antara warga setempat dan pendatang yang umumnya mahasiswa. Perayaan itu sekaligus digunakan Sultan untuk mempertemukan warga pendatang dari Belu, Alor, Papua, dan Maluku Tenggara dengan warga masyarakat Tambakbayan.Sultan menganggap warga pendatang adalah anak. Bahkan, dia menekankan kehadiran pendatang di Yogyakarta sama sekali tidak diharapkan jadi orang Jawa. ”Jadilah orang Maluku, orang NTT, orang Papua, dan lainnya yang berperilaku baik. Mereka memiliki identitas sendiri yang dijamin undang-undang. Pendiri negara ini mengakui perbedaan yang ada adalah modal, bukan sumber masalah bangsa,” katanya.Inilah yang ingin ditunjukkan Yogyakarta, tetap mampu mengatasi Indonesia mini, dengan memangku hidup berbagai kelompok etnis. (Kompas.com)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ketika kedamaian Yogyakarta terusik
YOGYAKARTA. Kalau istilah pasukan diakui sebagai istilah universal, maka serangan pasukan tidak beridentitas ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (23/3) dini hari, terasa sebuah peristiwa yang sama sekali tidak terduga. Kasus tersebut seperti menorehkan warna lain kondisi Yogyakarta yang selama ini nyaman dan aman. Keempat korban yang ditembak mati oleh pasukan tidak beridentitas itu adalah tersangka pembunuh anggota Komando Pasukan Khusus Sersan Satu Santoso yang terjadi tiga hari sebelumnya.Banyak warga Yogyakarta, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Yogyakarta, Masyarakat Antikekerasan Yogyakarta, Masyarakat Aliansi Yogyakarta, dan elemen masyarakat lainnya, menilai kasus itu sebagai peristiwa sadis yang menyeruak di tengah kenyamanan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta selama ini.Kasus penyerbuan ke LP Cebongan dinilai merupakan puncak perhatian, bahwa kenyamanan DIY mulai terusik. Peristiwa ini merupakan kasus kebiadaban terakhir dari serangkaian tindak kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini di Yogyakarta.Sebelum peristiwa itu terjadi, ada anggota TNI yang ditusuk dua kelompok yang bertikai, beberapa kali terjadi pertikaian antara warga pendatang (mahasiswa dari luar daerah) dan warga kampung, penyerbuan oleh warga pendatang ke kampung di wilayah Yogyakarta, bahkan sering terjadi kasus penusukan antarmahasiswa. Tragedi berdarah di sebuah kafe tidak hanya sekali terjadi.Bagi masyarakat Yogyakarta, rentetan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini sebagai peristiwa yang aneh dan mengejutkan. Peristiwa ini mencederai Yogyakarta sebagai daerah yang dikenal sebagai Indonesia mini karena banyaknya pendatang, terutama mahasiswa, dari berbagai kelompok etnis di Indonesia. Pluralitas yang menjadi keindahan Yogyakarta seperti berbalik menjadi ketakutan.Buktinya, peristiwa penembakan brutal di LP Cebongan terhadap empat korban yang semuanya warga Nusa Tenggara Timur (NTT) itu telah membikin warga NTT yang tinggal di Yogyakarta ketakutan. Meski tidak terjadi eksodus besar-besaran, ada warga NTT yang meninggalkan Yogyakarta karena ketakutan.Meski demikian, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X, yang saat ditelepon Gubernur NTT sedang berada di luar negeri, menyatakan sanggup dan bertanggung jawab terhadap kenyamanan warga NTT di Yogyakarta. Demikian pula Kapolda DIY Sabar Rahardjo yang menyatakan hal yang sama.Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, menyatakan, Yogyakarta selama ini memang masih tetap memiliki budaya harmoni yang terkadang bisa membantu memecahkan persoalan yang menyangkut daerah lain. Namun, kalau modal budaya ini tidak dipelihara dan dikembangkan, lama-kelamaan modal budaya itu akan menipis.”Inilah yang harus diwaspadai Yogyakarta. Bagaimana terus mempertebal modal budaya ini sehingga mampu mengatasi bangun masyarakat Yogyakarta yang memang ditakdirkan berada dalam heterogenitas. Peristiwa kekerasan di Yogyakarta ini merupakan peringatan bagi Yogyakarta,” katanya.Tetap mampuMeski demikian, Arie menyatakan, peristiwa yang terjadi di Yogyakarta ini belumlah merupakan musibah besar yang tidak bisa diatasi. Yogyakarta masih memiliki kekuatan untuk memangku pluralisme sebagai wajah harmoni Yogyakarta.Memang benar apa yang dikatakan Arie. Sekitar tahun 1970-an di Yogyakarta terjadi ketegangan yang cukup mengkhawatirkan dengan adanya percekcokan antarkelompok etnis. Namun, sejak itu kondisi Yogyakarta terus berjalan nyaman, tak pernah lagi ada ketegangan yang berarti.Bahkan, ketika peristiwa Mei 1998, Yogyakarta yang multietnis itu dengan gampang diincar sebagai ajang kerusuhan. Sempat ada pelemparan terhadap gedung-gedung, tetapi sama sekali tidak timbul kerusakan. Itu terjadi setelah Gubernur DIY terjun langsung ke lapangan, berkeliling ke segala penjuru Kota Yogyakarta, dengan mengeluarkan imbauan lewat pengeras suara. Kerusuhan pun tak terjadi. Itu tidak semata-mata atas kekuatan Sultan HB X, tetapi disertai pula komitmen masyarakat yang peduli menjaga Yogyakarta.Sampai sekarang Gubernur DIY yang juga Raja Yogyakarta itu senantiasa turun ke lapangan di saat terjadi ketegangan antarwarga. Seperti peristiwa Desember tahun lalu, Sultan HB menghadiri perayaan Natal bersama di Dusun Tambakbayan, Depok, Sleman, yang saat itu baru saja terjadi ketegangan antara warga setempat dan pendatang yang umumnya mahasiswa. Perayaan itu sekaligus digunakan Sultan untuk mempertemukan warga pendatang dari Belu, Alor, Papua, dan Maluku Tenggara dengan warga masyarakat Tambakbayan.Sultan menganggap warga pendatang adalah anak. Bahkan, dia menekankan kehadiran pendatang di Yogyakarta sama sekali tidak diharapkan jadi orang Jawa. ”Jadilah orang Maluku, orang NTT, orang Papua, dan lainnya yang berperilaku baik. Mereka memiliki identitas sendiri yang dijamin undang-undang. Pendiri negara ini mengakui perbedaan yang ada adalah modal, bukan sumber masalah bangsa,” katanya.Inilah yang ingin ditunjukkan Yogyakarta, tetap mampu mengatasi Indonesia mini, dengan memangku hidup berbagai kelompok etnis. (Kompas.com)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News