Ketika KRAS masih harus bekerja keras



JAKARTA. Pemerintah menghembuskan angin segar bagi  bisnis PT Krakatau Steel Tbk (KRAS). Ini setelah seluruh emiten konstruksi badan usaha milik negara (BUMN) wajib menggunakan baja milik KRAS untuk menahan gempuran baja impor.

Selama ini, pasar baja dalam negeri banyak dibanjiri baja impor. Perusahaan lebih memilih baja impor dari China karena harganya  lebih murah. Karena itu, menurut Thendra Chrisnanda, Analis BNI Securities, ada kelebihan pasokan baja dari global sehingga harga cenderung merosot. "Sebagai pembanding, tahun 2014 harga baja global US$ 614 per ton, sementara baja China US$ 486 per ton," ujar dia.

Tapi menurut David N Sutyanto, Analis First Asia Capital, kewajiban tersebut seharusnya tak sekedar imbauan. "Tidak akan terlalu efektif," ujar dia. Sebab, emiten BUMN tidak akan mau rugi jika harga baja KRAS jauh lebih mahal dibandingkan impor.


Dan perusahaan konstruksi tentu juga dikejar target memperbaiki kinerja keuangan. "Kalau sebatas imbauan, mereka pasti akan lebih memilih fokus untuk meraih untung," ujar David.

Thendra menambahkan, efek permintaan pemerintah tersebut hanya jangka pendek. Fundamental KRAS belum banyak berubah. Apalagi, perseroan masih lemah dari sisi teknologi. Selain itu, KRAS harus dibebani biaya produksi yang semakin tinggi karena nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kian membubung. Selain itu,  permintaan pemerintah ini akan menimbulkan masalah baru, karena dinilai sebagai upaya praktik monopoli.

Kalau menurut para analis sebaiknya pemerintah membuat aturan konkret yang bisa membuat permintaan baja KRAS meningkat. Menurut Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri selama ini pangkal masalah dari harga jual baja China adalah bea masuk impor baja sangat kecil. Akibatnya, baja nasional harus berhadapan dengan baja impor.

Bagi David, kebijakan pemerintah menaikkan bea masuk impor baja lebih efektif menopang pertumbuhan penjualan KRAS dibandingkan imbauan tersebut. Dia bilang, kenaikan ini akan menekan impor meskipun harga baja dari China lebih murah.

Kalau menurut Hans, kenaikan bea masuk tersebut sentimen positif akan membuat harga baja milik KRAS lebih bersaing dibandingkan dengan memerintahkan untuk menggunakan baja lokal.

Sejatinya, Keinginan pemerintah dan kenaikan harga bea masuk baja sejatinya telah mengangkat harga saham KRAS. Sejak pernyataan pemerintah pada 15 Mei 2015 hingga kemarin (26/5), harga saham KRAS telah naik 32,74% dari Rp 338 menjadi Rp 446 per saham.

Thendra memperkirakan, pertumbuhan KRAS tahun ini masih akan turun. Kapasitas produksi KRAS belum berubah hingga tahun 2016 yakni 3,15 juta ton per tahun. Baru pada tahun 2017 ditargetkan naik menjadi 4,65 juta ton. Thendra maupun Hans memperkirakan, KRAS masih akan menderita rugi.

David memproyeksikan, KRAS masih rugi US$ 78,61 juta hingga akhir tahun dan pendapatan di US$ 1,72 miliar. Ketiga analis menyarankan hold saham KRAS. Hans dan Thendra memasang target masing-masing di Rp 550 dan Rp 441. Sedangkan David masih menghitung ulang target saham KRAS.            

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto