Memiliki banyak anak merupakan salah satu prinsip penting dalam hidup berkeluarga di abad ke-20. Saat ini, prinsip itu perlahan makin luntur. Bagi penduduk negara maju. memiliki anak bukan lagi tujuan pernikahan. Fenomena ini yang memicu populasi kaum tua melesat. Sekali lagi, kaum tua mengubah wajah ekonomi dunia. Jika dulu mereka memacu pertumbuhan ekonomi, kali ini kaum renta menahan laju pertumbuhan. Catatan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), populasi tua atau mereka yang berusia di atas 65 tahun telah meningkat dua kali lipat dalam tempo 25 tahun terakhir. Hitungan PBB, saat ini sebanyak 600 juta kaum manula memenuhi dunia. Jumlah itu setara dengan 8% dari total populasi dunia. Namun, di tahun 2035, jumlah manula di atas usia 65 tahun, mencapai 1,1 miliar atau 13% dari total populasi penghuni dunia. Mengutip The Economist, populasi kaum renta melesat tinggi di negara kaya. Contoh, Jepang. Di Negeri Sakura, perbandingan antara kaum tua dengan kaum produktif yakni 69 berbanding 100 orang di tahun 2035.
Angka ini lebih tinggi ketimbang tahun 2010. Kala itu, kaum manula sebanyak 43 dari total kaum produktif. Jerman pun mengalami problema sama. Di tahun 2035 mendatang, perbandingan antara kaum tua dengan kaum produktif yakni 66 berbanding 100 orang. Amerika Serikat (AS) yang memiliki tingkat kelahiran cukup tinggi juga harus menanggung biaya hidup 44 lansia dari total 100 kaum produktif. Sejumlah negara berkembang terhindar dari persoalan menanggung beban hidup kaum lansia. Namun, populasi kaum lansia tetap tumbuh pesat. Populasi lansia di Tiongkok diperkirakan tumbuh dua kali lipat dari 15 menjadi 36 lansia per 100 orang usia produktif. Kaum tua di Amerika Latin juga tumbuh dobel dari 14 menjadi 27 per 100 orang. Kenapa populasi tua menghambat pertumbuhan ekonomi? Sebab, kaum lansia memasuki periode tidak bekerja. Itu artinya, daya beli, pendapatan dan nilai aset turun. Ujungnya, populasi lansia yang melesat bisa memicu kenaikan suku bunga.