JAKARTA. Langkah Bank Indonesia yang kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis points (bps) dinilai keliru. Guru Besar Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Tony A. Prasetiantono mengatakan, kebijakan ini tidak terlalu mendesak untuk dilakukan lantaran tingkat inflasi sudah mulai kembali normal. "Saya cukup kaget dengan kenaikan BI rate kali ini, yang mestinya tidak terlalu mendesak dilakukan karena inflasi mulai jinak. Mestinya sudah cukup, kecuali inflasinya meningkat dengan hebat misalnya diatas 9%," kata Tony, Selasa (12/11). Sesuai data Bank Indonesia, inflasi hingga akhir Oktober 2013 mencapai 8,32%. Tingkat inflasi ini diproyeksikan akan dibawah 9% hingga akhir tahun ini. Jadi menurut Tony, kebijakan yang efektif dilakukan BI adalah membiarkan nilai tukar rupiah melemah, sehingga akan mendorong ekspor, menurunkan impor, dan menekan defisit jasa. Tidak akan mengurangi CAD Tony mengatakan, kebijakan menaikkan suku bunga ini tidak akan mengurangi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD), tetapi justru akan memukul perekonomian nasional secara luas. Meski kenaikan BI rate dinilai akan berdampak positif bagi pergerakan nilai tukar rupiah karena berkesempatan menguat, namun hal ini justru akan memukul daya saing produk Indonesia. Dampaknya, kinerja ekspor akan kembali tertekan. Dengan pelemahan ekspor ditengah impor migas yang tinggi, defisit perdagangan akan membengkak. "Akibatnya defisit transaksi berjalan justru akan cenderung stagnan atau malah membesar, bukan membaik seperti yang diklaim oleh BI," jelas Tony. Kenaikan suku bunga acuan ini akan menghambat ekspansi perbankan dalam menyalurkan kreditnya. Perlambatan kredit di sektor industri keuangan ini akan berdampak tidak langsung terhadap upaya penurunan defisit transaksi berjalan. Akan tetapi, perlambatan kredit juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Perlambatan ekonomi ini justru akan menyulitkan upaya penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat. "Jadi kalau mau mengurangi defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit, mestinya BI rate ditahan tetap atau malah diturunkan. Kebalikan dari yang sekarang dilakukan BI," kata Tony.
Ketika para ekonom menyesalkan kenaikan BI rate
JAKARTA. Langkah Bank Indonesia yang kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis points (bps) dinilai keliru. Guru Besar Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Tony A. Prasetiantono mengatakan, kebijakan ini tidak terlalu mendesak untuk dilakukan lantaran tingkat inflasi sudah mulai kembali normal. "Saya cukup kaget dengan kenaikan BI rate kali ini, yang mestinya tidak terlalu mendesak dilakukan karena inflasi mulai jinak. Mestinya sudah cukup, kecuali inflasinya meningkat dengan hebat misalnya diatas 9%," kata Tony, Selasa (12/11). Sesuai data Bank Indonesia, inflasi hingga akhir Oktober 2013 mencapai 8,32%. Tingkat inflasi ini diproyeksikan akan dibawah 9% hingga akhir tahun ini. Jadi menurut Tony, kebijakan yang efektif dilakukan BI adalah membiarkan nilai tukar rupiah melemah, sehingga akan mendorong ekspor, menurunkan impor, dan menekan defisit jasa. Tidak akan mengurangi CAD Tony mengatakan, kebijakan menaikkan suku bunga ini tidak akan mengurangi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD), tetapi justru akan memukul perekonomian nasional secara luas. Meski kenaikan BI rate dinilai akan berdampak positif bagi pergerakan nilai tukar rupiah karena berkesempatan menguat, namun hal ini justru akan memukul daya saing produk Indonesia. Dampaknya, kinerja ekspor akan kembali tertekan. Dengan pelemahan ekspor ditengah impor migas yang tinggi, defisit perdagangan akan membengkak. "Akibatnya defisit transaksi berjalan justru akan cenderung stagnan atau malah membesar, bukan membaik seperti yang diklaim oleh BI," jelas Tony. Kenaikan suku bunga acuan ini akan menghambat ekspansi perbankan dalam menyalurkan kreditnya. Perlambatan kredit di sektor industri keuangan ini akan berdampak tidak langsung terhadap upaya penurunan defisit transaksi berjalan. Akan tetapi, perlambatan kredit juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Perlambatan ekonomi ini justru akan menyulitkan upaya penciptaan lapangan kerja baru bagi masyarakat. "Jadi kalau mau mengurangi defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit, mestinya BI rate ditahan tetap atau malah diturunkan. Kebalikan dari yang sekarang dilakukan BI," kata Tony.