Ketika partai ambil manfaat dari negara



JAKARTA. Para pendiri bangsa mendirikan partai politik untuk kepentingan bangsa dan negara, bahkan mereka harus keluar uang untuk partai dan rela dipenjara demi partai. Mereka pejuang militan yang idealis karena memegang teguh ideologi partai. Kini, yang terlihat justru partai mengambil manfaat dari negara untuk mendapatkan kekuasaan dan uang serta hanya berjuang demi diri sendiri dan kelompok.

Di tahun 2013 yang merupakan tahun politik, di mana seharusnya kabinet diakhiri dengan baik dan janji untuk mengurus politik kenegaraan dipenuhi, yang ada justru politik kepartaian. Semua partai sibuk mengurus daftar calon legislatif, mencari uang untuk Pemilu 2014, lebih sibuk dengan urusan internal partai, dan bukan berpikir tentang warisan atau kontribusi mereka untuk negara.

”Kalau partai politik terus seperti ini, jumlah golongan putih (golput) akan bertambah. Jika golput tinggi, legitimasi rendah, partisipasi masyarakat juga rendah, kewibawaan pemerintah dan DPR pun rendah,” kata Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, di Jakarta, Jumat (15/2).


Seharusnya parpol memikirkan negara, bukan memikirkan dirinya sendiri. Namun, yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, dengan terjun langsung mengurus Partai Demokrat menunjukkan pikirannya bercabang.

”SBY seharusnya fokus memikirkan negara. Jika seperti itu, jelas semakin memperkuat atau mempertegas tren politik partai bukan untuk politik kenegaraan. Saya sebagai rakyat tidak happy presiden saya sibuk mengurus partainya. Itu terlalu kecil, lebih urgen dia mengurus negara,” katanya.

Hukuman

Atas apa yang terjadi di parpol akhir-akhir ini, yakni konflik internal dan perilaku korupsi atau suap yang melibatkan kader-kader parpol, sudah sewajarnya jika kemudian masyarakat menghukum parpol dengan tidak memilih parpol saat pemilu nanti.

Direktur Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardhani melihat, perilaku korupsi parpol berkaitan dengan politik biaya tinggi. ”Secara prosedural, ada aturan main dalam Undang-Undang Parpol dan Undang-Undang Pemilu. Untuk menjadi parpol, ada syarat infrastruktur yang harus dipenuhi parpol, dan konsekuensinya adalah untuk memenuhi infrastruktur tersebut diperlukan dana besar,” katanya.

Ketika parpol sudah terbentuk pun harus ada konsolidasi dan penyebaran gagasan atau ideologi, membangun kantor tetap, harus ada pengurus, serta harus beroperasi. Ini memerlukan dana besar, parpol tidak bisa hanya mengandalkan sumbangan.

”Sementara sejarah parpol kita belum terbiasa melakukan aktivitas semacam itu. Kita mempunyai parpol memang sudah lama, tetapi semu. Pemilu berlangsung diikuti tiga parpol, tanpa harus kampanye pun sudah ketahuan parpol apa yang akan menang,” katanya.

Ketika perubahan politik menuntut parpol mandiri dan masyarakat yang menentukan kemenangan parpol, parpol pun mencari sumber dana ketika mereka berkuasa di eksekutif dan legislatif sehingga terjadilah koalisi. Jika begini, bagaimana parpol berharap rakyat akan memilihnya pada Pemilu 2014? (Kompas Cetak/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: