Ketua Komisi I DPRD Banten minta Ratu Atut mundur



JAKARTA. Surat Keputusan Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Banten Tahun 2014, kini, harus ditandatangani Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah di tahanan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten pun meminta Atut segera mundur.

Harapan itu, salah satunya, disampaikan Ketua Komisi I (Bidang Pemerintahan) DPRD Banten Agus R Wisas, Minggu (22/12/2013). Dia berharap Atut lebih mendahulukan kepentingan rakyat.

Apabila Atut tetap menjabat sebagai gubernur, keefektifan pemerintahan di Provinsi Banten dikhawatirkan akan terganggu.


Pasalnya, tidak semua tugas dan kewenangan gubernur bisa dialihkan kepada wakil gubernur, sekretaris daerah, atau pejabat lainnya. Contohnya, soal penandatanganan pengesahan Peraturan Daerah tentang APBD yang tidak bisa diwakilkan kepada wakil gubernur.

Penggunaan APBD 2014 juga harus melalui surat keputusan yang ditandatangani gubernur. Tanpa SK gubernur, anggaran dalam APBD tidak bisa digunakan. Atut memang bisa menandatangani SK Penggunaan Anggaran di tahanan, tetapi tentu perlu proses yang relatif panjang.

Hal yang sampai saat ini masih jadi pertanyaan, kata Agus, adalah bagaimana cara gubernur berkoordinasi? Lalu, bagaimana jika harus rapat dengan SKPD (satuan kerja pemerintahan daerah).

"Masa, rapat di rutan? Apakah Pak Sekda atau Pak Wagub juga bisa setiap saat ke Pondok Bambu? Kan, masuk rutan itu tidak bisa sembarangan, ada jadwalnya," kata Agus.

Oleh karena itu, ia meminta Atut legowo meletakkan jabatannya demi kepentingan yang lebih besar, yakni pemerintahan dan rakyat Banten. Mengingat, undang-undang memang mengatur, seorang gubernur yang berstatus tersangka tetap bisa menjalankan tugasnya. Gubernur baru dinonaktifkan dari jabatannya jika sudah berstatus terdakwa.

"Saya yakin Ibu Gubernur akan berpikir jernih dan berpikir lebih besar untuk masyarakat Banten," ujarnya.

Pemerintah pusat juga harus melihat kondisi psikologis masyarakat Banten. Masyarakat cenderung keberatan jika pemerintahan di Provinsi Banten dikendalikan dari penjara.

Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka dalam dua kasus korupsi sekaligus, yaitu suap kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait sengketa Pilkada Lebak dan korupsi pengadaan alat kesehatan di Banten.

Informasi yang dihimpun Kompas, hingga kemarin, keluarga Atut, termasuk anak dan menantunya, belum bisa membesuk Atut di Rutan Pondok Bambu. Menurut juru bicara keluarga Atut, Fitron Nur Iksan, keluarga baru bisa membesuk pada Senin ini karena Sabtu-Minggu tidak ada jadwal kunjungan.

Keluarga besar Atut sangat terpukul atas penahanan Atut. Rumah Atut di Jalan Bhayangkara Nomor 51, Kota Serang, Banten, terlihat sepi.

Seluruh keluarga kini mulai berkoordinasi untuk melakukan pembelaan hukum. Kuasa hukum Atut, Tengku Nasrullah, menambahkan, pihaknya juga akan mengajukan permohonan penangguhan penahanan.

Pihak keluarga juga berharap hak-hak Atut di hadapan hukum tetap dilindungi. Proses hukum pun diharapkan berjalan tanpa ada intervensi apa pun, termasuk intervensi politik.

Terkait permintaan agar Atut mundur, pihak keluarga berharap semua berjalan sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku.

Pelimpahan ke Wagub

Terpisah, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Politik Hukum dan Hubungan Antarlembaga Reydonnyzar Moenoek menyampaikan, untuk menjamin efektivitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah di Provinsi Banten, akan ada pelimpahan tugas dan wewenang dari gubernur kepada wakil gubernur.

"Opsi ini sedang disiapkan. Atut akan sangat bijaksana menerima opsi itu," kata Reydonnyzar.

Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, pejabat yang tersangkut kasus pidana baru diberhentikan sementara saat sudah menjadi terdakwa, yaitu ketika berkas perkara lengkap dan dilimpahkan ke pengadilan dengan bukti pendaftaran perkara. Pemberhentian sementara dilakukan Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya, ketika sudah mendapat vonis hukum berkekuatan tetap, baru Atut diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur. Dengan dasar itu, wakil gubernur baru bisa diangkat menjadi gubernur.

"Secara hukum, sekarang Atut masih tetap seorang gubernur. Tapi, sudah ada opsi, untuk menjamin efektivitas penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan Provinsi Banten, akan ada pelimpahan tugas dan wewenang dari gubernur kepada Wakil Gubernur Rano Karno. Ini langkah maju dan cepat," katanya.

Namun, selagi masih sebagai pelaksana tugas gubernur, Rano belum bisa mengambil kebijakan strategis, seperti memutasi pejabat. Kalaupun diperkenankan, hal itu perlu mendapat persetujuan dari Menteri Dalam Negeri.

Pengajar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana, berpandangan, pengunduran diri Atut semestinya memang dilakukan atas dasar etika politik, bukan norma yang diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

"Itu memang wilayah etika, urusan kepantasan dan kepatutan sebagai pejabat publik," kata Ari. Mengingat, penahanan Atut jelas akan menghambat tugas pemerintahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan