Ketua MK Anwar Usman Dilaporkan atas Dugaan Pelanggaran Etik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik. Pelaporan ini buntut putusan mengenai syarat batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10)

Pelaporan dilakukan Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), lewat surat Perekat Nusantara ke Ketua Dewan Etik Hakim Konstitusi, Rabu (18/10). 

"Muatan laporannya itu adalah pelanggaran kode etik oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman," kata Koordinator Perekat Nusantara, Petrus Selestinus kepada Kontan.co.id, Kamis (19). 


Petrus menjabarkan setidaknya ada empat muatan dasar pelanggaran kode etik yang dilakukan Anwar Usman. 

Pertama, Anwar Usman berada dalam posisi memiliki "konflik kepentingan" karena ada hubungan keluarga dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam permohonan uji materiil pasal 169 hurif q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dimana Presiden Jokowi menjadi pihak dalam perkara uji materril dimaksud. 

Kedua, perkara uji materril No. 90/PUU-XXI/2023, ternyata diperjuangkan oleh pemohon untuk kepentingan Gibran Rakabuming Raka, yang adalah anak sulung Jokowi dan/atau keponakan Anwar Usman, sehingga terjadi konflik kepentingan lagi. 

Baca Juga: Putusan MK Membuka Peluang Gibran Cawapres, Ini Respon PAN dan Golkar

Menurut Petrus, tidak sepatutnya seorang hakim yang terikat hubungan keluarga ikut membahas dan memutus perkara batas usia ini. 

Hal ini juga termaktub dalam ketentuan pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim yang terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai garis ketiga dengan para pihak yang berperkara wajib mengundurkan diri, jika tidak mengundurkan diri, maka putusan hakim itu tidak sah, diberi sanksi administratif dan dipidana sesuai UU. 

Ketiga, Hakim Konstitusi Anwar Usman, diduga memanipulasi pendapat hakim konstitisi yang berbeda secara substantif (dissenting opinion) menjadi pendapat yang setuju tetapi dengan alasan yang berbeda (concurring opinion). 

Sehingga mendapat skor seolah-olah 5 hakim setuju mengabulkan permohonan dan 4 hakim lainnya dalam posisi menolak. Padahal sesungguhnya yang terjadi adalah 6 hakim konstitusi menolak permohonan, sementara 3 hakim konstitusi mendukung kabulkan permohonan. 

"Belum lagi kalau dihitung posisi Anwar Usman yang keberadaannya tidak sah. Di sini terjadi pelanggaran hukum dan etik," pungkas Petrus. 

Keempat, terjadi pelanggaran hukum acara yakni pemohon Perkara No. 90/PUU-XXI/2023 yang sudah mencabut permohonan tetapi kemudian membatalkan pencabutannya dan diterima oleh MK.

Padahal, menurut ketentuan pasal 22 Peraturan MK Tentang Tata Beracara Dalam Pengujian UU, tegas menyatakan terhadap permohonan yang sudah dicabut tidak dapat diajukan lagi dan MK harus menetapkan penarikan kembali permohonan disertai dengan pengembalian salinan berkas permohonan. 

Lebih lanjut, Petrus mengatakan, laporan yang disampaikan oleh Perekat Nusantara ini telah diterima langsung Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK Heru Setiawan untuk segera ditindaklanjuti. 

Sebelumnya MK memutuskan seorang dengan usia belum mencapai 40 tahun diperbolehkan mencalonkan diri sebagai capres maupun cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah. 

Putusan ini lantas mendapatkan sorotan publik karena dianggap memiliki konflik kepentingan untuk melanggengkan anak sulung Jokowi yang juga Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto. 

Baca Juga: Putusan MK Dinilai Problematik, Yusril Sarankan Gibran Tak Maju Cawapres

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat