KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah untuk menghimpun iuran wajib dari seluruh pekerja melalui program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih menua pro kontra. Penolakan datang dari pekerja dan pengusaha karena menilai kewajiban tersebut sebagai beban di tengah situasi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja. Menurut Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto, perdebatan iuran Tapera membuktikan bahwa masalah di sektor perumahan cukup kompleks, termasuk soal pembiayaannya. Oleh karena itu, ia menilai penyelesaian masalah perumahan rakyat harus dilakukan menyeluruh, termasuk secara kelembagaan. Regulasi yang baik akan sulit tercipta tanpa institusi yang kuat. Ia menjelaskan, institusi husus itu diperlukan meningat saat ini Indonesia dihadapkan dengan masalah backlog (kekurangan pasokan) perumahan yang sudah mencapai 12,7 juta. Angka tersebut dipastikan akan bertambah setiap tahunnya.
Baca Juga: Bukan Sekarang, Iuran Tapera Baru Dimulai Tahun 2027 Pemerintah saat ini dituntut memikirkan sumber dana untuk mengatasi masalah itu karena dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang selama ini membiayai subsidi perumahan rakyat sangat terbatas. “Rencana pemberlakuan iuran Tapera sebenarnya merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi backlog perumahan. Pemerintah ingin penyediaan perumahan dapat dipercepat dan terjangkau oleh masyarakat,” jelas Joko dalam keterangan resmi, Minggu (9/6). Joko memandang penolakan disebabkan oleh tiga faktor, yakni adanya ketidakpercayaan, historikal (sejarah dari pengalaman sebelumnya), serta minimnya sosialisasi kepada masyarakat. Sehingga menurutnya, harus ada upaya dari pemerintah untuk mengelola isu-isu tersebut sebagai wujud transparansi. Di tengah penolakan iuran Tapera, REI menegaskan bahwa pembiayaan perumahan harus tetap terjaga agar backlog perumahan dapat dituntaskan. Salah satunya dengan memberdayakan dana-dana masyarakat yang telah ada seperti dana pensiun, dana asuransi, dana jaminan sosial tenaga kerja, serta jika memungkinkan termasuk dana pengelolaan keuangan haji. Dana-dana itu, kata Joko, bisa digunakan tetapi tidak dalam posisi investasi langsung namun digunakan sebagai dana pendampingan. Nantinya, pemerintah dapat menerbitkan payung hukum berupa keputusan presiden, peraturan presiden atau peraturan pemerintah yang mengatur agar terhadap dana-dana tersebut minimal 5% harus ditempatkan sebagai dana pendampingan untuk memperkuat program pembiayaan perumahan.
Baca Juga: Perbankan Berlomba Tawarkan KPR Hijau, Simak Bedanya dengan KPR Konvensional Dana pendampingan ini, tegas Joko Suranto, bisa ditempatkan di bank yang telah diikat komitmen atau penugasan dari pemerintah untuk mendukung program pembiayaan perumahan. Namun dengan catatan tingkat suku bunganya sekitar 3%, sehingga bank dapat memberikan bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang terjangkau maksimal 6% untuk pembiayaan rumah di atas MBR atau sampai dengan harga Rp500 juta. Pasalnya, ceruk pasar di segmen ini cukup signifikan mencapai 35%. Joko menilai langkah mendorong pemanfaatan dana-dana masyarakat yang sudah tersedia untuk dana pendampingan perumahan bisa menjadi upaya transformasi (perubahan) program pembiayaan perumahan sebelum tercapainya pertumbuhan pembiayaan lewat APBN maupun Tapera.
Seperti diketahui, saat ini anggaran perumahan dari APBN hanya sekitar 0,4% dari total keseluruhan APBN. Anggaran tersebut sangat terbatas apalagi untuk membiayai target pembangunan 3 juta rumah yang nantinya menjadi program pemerintahan baru mendatang. “Ini saran masukan dari REI sebagai bentuk urung rembuk dalam mencari solusi atas persoalan pembiayaan perumahan, sembari kita menunggu adanya penguatan dari APBN dan Tapera,” sebutnya. Dengan adanya dana pendampingan dan ditambah peningkatan anggaran perumahan dari APBN dan nantinya dari Tapera – Joko Suranto optimistis realisasi penyediaan perumahan nasional setidaknya mampu mencapai 1,5 juta per tahun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dina Hutauruk