JAKARTA. Kewajiban penggunaan rupiah terhadap setiap transaksi di Indonesia kemungkinan bakal diperlonggar. Kewajiban yang tertuang di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 menimbulkan kebingungan di pihak tertentu dan berefek negatif terhadap citra serta perekonomian nasional. Dua beleid itu menyatakan, semua pihak wajib menggunakan rupiah dalam transaksi di Indonesia. Lalu, PBI menjelaskan transaksi itu meliputi pembayaran, penyelesaian kewajiban dengan uang, dan transaksi keuangan lainnya, baik tunai maupun non-tunai. Namun, kebijakan ini menimbulkan ketakutan wisata-wan asing yang berkunjung ke Indonesia. Ada kekhawatiran, mereka akan dipidanakan jika bertransaksi menggunakan uang dari negara asalnya, ataupun memakai dollar Amerika Serikat (AS), yang selama ini banyak dipakai.
Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat jumlah kedatangan wisatawan mancanegara turun pasca PBI 17/2015 berlaku pada 31 Maret 2015. Jumlah kunjungan wisatawan asing pada April hanya 749.882 orang, turun dari sebulan sebelumnya yang mencapai 789.596 orang. Nah, kebingungan ini sudah dipahami pemerintah. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) telah menggelar rapat terbatas dengan sejumlah menteri dan perwakilan Bank Indonesia untuk membahas masalah ini di kantornya, Jumat (26/6). Sayangnya, rapat belum menghasilkan keputusan. Namun, JK menegaskan kekhawatiran wisatawan asing itu harus diselesaikan, mengingat Indonesia membutuhkan kehadiran turis asing untuk menambah pasokan valuta asing, terutama dollar AS. "Pada wisatawan asing yang membawa dollar akan menambah devisa," kata JK kemarin. Apalagi, pemerintah sedang gencar mencari devisa dari wisawatan asing. Sekarang sudah ada Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan. Beleid ini memperbanyak jumlah negara yang mendapatkan fasilitas bebas visa dari 15 menjadi 45 negara. Fasilitas bebas visa berlaku untuk turis dari, antara lain, China, Rusia, Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Italia, Spanyol, Swiss, Belgia, Swedia, Austria, Arab Saudi, Kuwait dan Afrika Selatan. Warga dari negara-negara itu tidak membutuhkan visa selama masuk melalui pintu imigrasi tertentu, seperti Bandara Soekarno-Hatta, Ngurah Rai, Kualanamu, Juanda, Hang Nadim, Pelabuhan Laut Sri Bintan, Pelabuhan Laut Sikupang, Pelabuhan Laut Batam Center dan Pelabuhan Laut Tanjung Uban. Tergantung BI Tentu saja, jika ingin menyelesaikan persoalan ini, PBI kewajiban penggunaan rupiah di Indonesia harus direvisi. Salah satu revisi yang disiapkan adalah menambah pihak atau jenis transaksi yang diperbolehkan menggunakan valuta asing. PBI 17/2015 memberikan pengecualian kewajiban penggunaan rupiah untuk sejumlah transaksi. Pengecualian itu antara lain untuk transaksi dalam pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri, transaksi perdagangan internasional, simpanan di bank dalam bentuk valuta asing, dan transaksi pembiayaan internasional.
"Perubahan PBI ini wewenang BI, Saya kira BI sudah mengerti kondisinya," kata Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil. Direktur Komunikasi dan Pemberitaan BI Peter Jacobs mengakui ada kekhawatiran wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Tak sedikit wisatawan asing yang malas menukarkan valuta asing dengan rupiah. Namun, sebelum kebijakan ini berlaku, BI sudah mengantisipasinya. BI telah menggelar pertemuan dengan sejumlah pihak yang terlibat dalam industri pariwisata untuk mengatasi permasalahan itu. Oleh karena itu, sampai sekarang BI yakin bahwa kewajiban penggunaan rupiah seharusnya tak berdampak negatif terhadap wisatawan asing. Justru kebijakan ini untuk menjaga kedaulatan rupiah di dalam negeri. Peter pun menolak menanggapi desakan pemerintah ke pada BI untuk merevisi PBI tersebut. "Tunggu nanti, saya tidak bisa informasikan sekarang," ujar Peter. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia