Pemerintah telah menetapkan kewajiban sertifikasi halal untuk produk makanan, minuman, obat dan kosmetik melalui Peraturan Pemerintah No. 31/2019 yang diundangkan pada awal Mei lalu. Regulasi tersebut adalah aturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Kewajiban sertifikasi halal mulai berlaku efektif 17 Oktober 2019. Pada pelaksanaannya, kewajiban sertifikasi halal dilakukan bertahap, dimulai dari produk makanan dan minuman. Implementasi kewajiban sertifikasi halal tinggal menunggu hitungan bulan, namun hingga kini hal tersebut masih menyisakan polemik. Sebagian pelaku usaha merasa khawatir aturan ini akan memberatkan, khususnya bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil. Ada juga yang berpendapat sertifikasi halal seharusnya bersifat sukarela (
voluntary). Pada umumnya, produsen terdorong melakukan sertifikasi halal karena merasa memiliki kepentingan untuk memberikan informasi tentang status halal produknya kepada segmen konsumen tertentu. Lebih jauh, ada yang menganggap kewajiban sertifikasi halal dapat mengganggu iklim usaha dan investasi di Tanah Air. Bahkan, tidak jarang pihak yang masih meragukan kesiapan pemerintah, terutama terkait dengan infrastruktur pelaksanaan JPH.
Di sisi lain, pemerintah berusaha memberikan pemahaman kepada semua pihak bahwa kebijakan ini untuk memberikan kenyamanan batin, keamanan, keselamatan dan kepastian hukum terhadap kehalalan produk dan ketersediaan produk halal bagi masyarakat. Pemerintah juga meyakinkan sertifikasi halal akan meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Kami melihat kekhawatiran para pelaku usaha terhadap kewajiban sertifikasi halal sebagai suatu hal yang wajar.
Pertama, jarak waktu antara diundangkannya PP No. 31/2019 sebagai peraturan pelaksanaan JPH dan implementasi JPH pada Oktober mendatang relatif singkat. Hal itu menuntut pelaku industri untuk menyesuaikan diri secara cepat meski sebenarnya undang-undang JPH telah diinisiasi lima tahun yang lalu. Sebagai gambaran, proses sertifikasi halal yang diterbitkan MUI untuk perusahaan dalam negeri selama ini membutuhkan waktu kurang lebih 75 hari kalender sejak aplikasi pendaftaran lengkap, untuk satu jenis produk dan satu pabrik. Sementara untuk perusahaan yang berlokasi di luar negeri (impor) kurang lebih sekitar 90 hari.
Kedua, banyak persepsi yang muncul bahwa produk yang tidak bersertifikasi halal selanjutnya tidak bisa masuk dan dijual di Indonesia. Akibatnya, mereka takut kehilangan pasar yang prospektif bagi produknya. Persepsi ini tak sepenuhnya benar, mengingat produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal. Sementara produk yang belum bersertifikat halal hingga 17 Oktober 2019 akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Agama. Dalam hal produk obat yang bahan bakunya belum bersumber dari bahan halal dan/atau cara pembuatannya belum halal, tetap dapat beredar dengan mencantumkan informasi mengenai kehalalannya dan asal bahan. Ketiga, kompleksitas implementasi kewajiban sertifikasi halal cukup beragam di tiap industri. Untuk industri obat yang bahan bakunya saat ini sebagian besar masih diimpor (>90%) tentu akan lebih rumit dibandingkan industri makanan dan minuman yang bahan baku dan tingkat substitusi produknya relatif lebih banyak. Keempat, belum adanya peraturan teknis turunan yang mengatur secara rinci penyelenggaraan JPH, terutama untuk produk di luar makanan dan minuman. Namun, kami juga mengapresiasi kebijakan pemerintah terkait kewajiban sertifikasi halal. Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim (87% dari total populasi Indonesia) dimana kesadaran dan tuntutan masyarakat akan JPH semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan naiknya peringkat Indonesia dalam The Global Islamic Economy Indicator (GIEI) 2018/2019 Report dari posisi 11 ke 10. Peringkat Indonesia lebih baik dibandingkan Brunei Darussalam (11), namun di bawah Malaysia (1). Perkembangan halal market di dunia, khususnya
halal food juga menjadi peluang besar yang dapat dimanfaatkan Indonesia dengan adanya sertifikasi halal. Mengacu
State of the Islamic Economy Report 2018/2019, pengeluaran penduduk muslim dunia untuk makanan dan minuman halal pada 2017 diperkirakan sebesar US$ 1.303 miliar. Nilai ini diproyeksikan meningkat menjadi US$ 1.863 miliar pada 2023. Kami menyadari implementasi kewajiban sertifikasi halal tidak mudah dan harus melibatkan semua pihak terkait. Jangan sampai kewajiban sertifikasi halal menjadi biaya ekonomi tinggi (
high cost economy) karena biayanya mahal yang justru mengurangi daya saing produk lokal.
Upaya sosialisasi yang komprehensif dan efektif serta bimbingan dan pendampingan intensif, khususnya bagi pelaku usaha mikro dan kecil menjadi salah satu kunci keberhasilan utama kebijakan ini. Kami mendukung upaya pemerintah untuk segera menerbitkan regulasi teknis turunan lebih lanjut guna menghapus kekhawatiran pelaku usaha, seperti biaya sertifikasi halal dan detail tahapan implementasi sertifikasi halal, termasuk kemungkinan dukungan insentif fiskal seperti kemudahan melakukan ekspor ke negara tujuan utama
halal market. Pada akhirnya, kita semua berharap kewajiban sertifikasi halal yang telah ditetapkan dapat berjalan lancar sesuai dengan tahapannya. Regulasi teknis turunannya juga dapat menjembatani semua pihak terkait dan membuka peluang bisnis yang lebih besar di masa depan
.♦ Nadia Kusuma Dewi Senior Industry Analyst Bank Mandiri Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi