Khawatir dengan aktivitas China, Jepang dan Australia teken pakta pertahanan?



KONTAN.CO.ID - TOKYO. Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison mungkin menyetujui pakta pertahanan bersejarah pada Selasa (17/11), yang akan menyelaraskan dua sekutu utama Amerika Serikat (AS) di Asia itu sebagai lawan dari pengaruh China yang tumbuh di kawasan itu.

Morrison tiba di Jepang pada Selasa (17/11), di mana para ahli keamanan mengharapkan dia untuk menyelesaikan Perjanjian Akses Timbal Balik (RAA) dengan Suga. Pakta tersebut untuk menetapkan kerangka hukum bagi pasukan masing-masing guna pelatihan dan melakukan operasi militer bersama.

"Akan ada sesuatu untuk diumumkan dari pertemuan itu," kata seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Jepang pada jumpa pers Senin (16/11), tanpa menjelaskan lebih lanjut, seperti dilansir Reuters.


Sebuah pakta, yang membutuhkan waktu enam tahun untuk dinegosiasikan dan perlu diratifikasi oleh anggota parlemen, akan menjadi perjanjian yang pertama bagi Jepang.

Baca Juga: Termasuk Indonesia, negara-negara di Asia-Pasifik laporkan rekor kasus virus corona

Khawatir dengan aktivitas China

Perdana sejak menandatangani perjanjian status pasukan pada 1960 yang memungkinkan AS untuk menempatkan kapal perang, jet tempur, dan ribuan pasukan di dalam dan sekitar Jepang, sebagai bagian dari aliansi militer yang digambarkan oleh Washington merupakan landasan keamanan regional.

Dalam panggilan telepon dengan Suga Kamis (12/11) pekan lalu, Presiden terpilih Joe Biden mengatakan, pemerintahannya yang akan datang berkomitmen untuk mempertahankan kemitraan yang erat itu.

Tokyo dan Canberra mencari hubungan yang lebih dekat karena mereka khawatir dengan aktivitas China di wilayah tersebut. Termasuk, militerisasi di Laut China Selatan, manuver di sekitar pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Timur, dan pengaruh Beijing yang semakin besar atas negara-negara kepulauan Pasifik di Timur jauh.

"Sangat membantu bagi negara lain untuk mengambil peran lebih aktif dalam kegiatan dan operasi militer di kawasan itu, paling tidak karena Amerika terlalu kewalahan," kata Grant Newsham, peneliti di Forum Jepang untuk Studi Strategis, kepada Reuters.

Baca Juga: Hubungan AS-China memanas di Laut China Selatan, ini pesan Jokowi ke ASEAN

Editor: S.S. Kurniawan