Kim Jong Un Kembali Mengancam Penggunaan Senjata Nuklir



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Situasi di Semenanjung Korea kembali memanas setelah pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, memperingatkan kemungkinan penggunaan senjata nuklir dalam konflik potensial dengan Korea Selatan dan Amerika Serikat.

Ancaman ini dilontarkan di tengah meningkatnya ketegangan antara negara-negara tersebut, di mana Kim menuduh Korea Selatan dan Amerika Serikat telah memprovokasi Korea Utara dan memperburuk hubungan di wilayah tersebut.

Peringatan Serangan Nuklir

Kim Jong Un telah beberapa kali mengeluarkan ancaman serupa terkait penggunaan senjata nuklir secara preemptif. Namun, pernyataan terbaru ini datang saat para ahli dari luar memperkirakan bahwa Korea Utara mungkin meningkatkan ketegangan menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat yang akan berlangsung bulan depan.


Baca Juga: Korea Utara Ancam Memutus Akses Jalan dan Kereta Api dengan Korea Selatan

Dalam pidato yang disampaikan di Universitas Pertahanan Nasional Kim Jong Un, ia menegaskan bahwa Korea Utara akan menggunakan "semua kemampuan serangan terhadap musuh" tanpa ragu jika ada ancaman penggunaan kekuatan militer terhadap negaranya.

"Penggunaan senjata nuklir tidak dikesampingkan dalam hal ini," tegas Kim Jong Un, seperti yang dilaporkan oleh Korean Central News Agency (KCNA), media resmi Korea Utara.

Eskalasi Ketegangan

Kim juga menyoroti bahwa Korea Selatan dan Amerika Serikat telah memperkuat aliansi militer mereka dengan mengintegrasikan perencanaan nuklir dan strategis. Hal ini, menurutnya, akan meningkatkan risiko ketidakstabilan keseimbangan kekuatan di Semenanjung Korea.

Pada Juli 2023, kedua negara menandatangani panduan pencegahan bersama, yang bertujuan untuk mengintegrasikan kemampuan konvensional Korea Selatan dengan senjata nuklir Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman nuklir yang terus berkembang dari Korea Utara.

Meskipun Korea Selatan sendiri tidak memiliki senjata nuklir, aliansi dengan Amerika Serikat membuat mereka berada dalam posisi strategis yang lebih kuat.

Baca Juga: Rusia Umumkan Keadaan Darurat Lokal Setelah Serangan Ukraina di Gudang Senjata

Kebijakan Nuklir Agresif Korea Utara

Sejak mengadopsi kebijakan nuklir yang lebih agresif pada tahun 2022, Korea Utara telah berulang kali menyatakan bahwa mereka akan menggunakan senjata nuklir terlebih dahulu jika merasa kepemimpinan di Pyongyang terancam.

Meskipun begitu, para ahli banyak yang meragukan bahwa Korea Utara benar-benar akan melakukannya, mengingat kekuatan militernya yang kalah jauh dibandingkan dengan gabungan kekuatan militer Amerika Serikat dan Korea Selatan.

Pejabat dari Amerika Serikat dan Korea Selatan telah berulang kali memperingatkan bahwa setiap upaya Korea Utara untuk menggunakan senjata nuklir akan mengakibatkan berakhirnya rezim Kim Jong Un.

Dalam beberapa minggu terakhir, ketegangan semakin meningkat dengan Korea Utara yang mengungkapkan fasilitas untuk memproduksi uranium tingkat senjata, yang merupakan bahan inti untuk senjata nuklir. Selain itu, negara tersebut juga terus melakukan serangkaian uji coba rudal.

Reaksi dari Korea Selatan dan Analis

Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, dalam tanggapannya kepada Associated Press, menyatakan bahwa pengungkapan fasilitas produksi uranium oleh Korea Utara mungkin merupakan upaya untuk menarik perhatian Amerika Serikat menjelang pemilihan presiden di negara tersebut.

Baca Juga: Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un Sebut Putin Sebagai Kawan Terdekat

Yoon juga memperkirakan bahwa Korea Utara kemungkinan besar akan melakukan provokasi besar, seperti uji coba nuklir atau peluncuran rudal jarak jauh, sebagai bagian dari taktik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan baru Amerika Serikat.

Banyak analis percaya bahwa Kim Jong Un akan memanfaatkan kekuatan nuklir yang semakin besar ini untuk mendapatkan konsesi dari Amerika Serikat, seperti pelonggaran sanksi, setelah pemerintahan baru di Amerika Serikat dilantik.

Pertemuan Parlemen Korea Utara

Korea Utara sebelumnya telah mengumumkan bahwa parlemen mereka, yang sering disebut sebagai "parlemen cap karet", akan mengadakan pertemuan pada 7 Oktober. Namun, hingga Selasa, media negara tersebut belum melaporkan apakah pertemuan itu berlangsung sesuai jadwal.

Pengamat berpendapat bahwa pertemuan parlemen ini bertujuan untuk secara konstitusional menyatakan sistem "dua negara" di Semenanjung Korea, yang secara formal menolak rekonsiliasi dengan Korea Selatan.

Baca Juga: Kim Jong Un: Korea Utara Menuju Kekuatan Super Militer dengan Senjata Nuklir

Pada Januari lalu, Kim memerintahkan penulisan ulang konstitusi untuk menghapus tujuan negara yang telah berlangsung lama, yaitu penyatuan Korea secara damai, dan menegaskan Korea Selatan sebagai "musuh utama yang tak dapat diubah."

Sejak kegagalan diplomasi yang lebih luas antara Amerika Serikat dan Korea Utara terkait program nuklir pada tahun 2019, semua program pertukaran dan kerjasama antara Korea Utara dan Korea Selatan telah terhenti.

Editor: Handoyo .