Kimia Farma genjot ekspor dari obat herbal



JAKARTA. Produsen farmasi nasional, PT Kimia Farma Tbk, akan membuat varian produk baru dengan bahan-bahan dari herbal. Cara ini dilakukan untuk menggenjot pendapatan dari hasil ekspor perusahaan yang ditargetkan mampu mencapai dua kali lipat pada tahun ini atau bisa mencapai Rp 28 miliar.

Direktur Utama Kimia Farma, Rusdi Rosman menyatakan, tahun lalu, Kimia Farma mampu mengekspor produk senilai Rp 14 miliar. "Target kami, tahun ini, minimal ekspor meningkat dua kali lipat," katanya kepada KONTAN beberapa waktu lalu.

Dengan demikian, ekspor Kimia Farma tahun ini bisa mencapai Rp 28 miliar. Menurut Rusdi, tahun lalu, pihaknya telah membuat produk baru untuk kebutuhan ekspor. Produk tersebut hasil kerjasama dengan Universitas Padjadjaran, Bandung. "Kami mengembangkan obat herbal dari buah pala. Ini satu-satunya obat herbal untuk penyakit diabetes yang berasal dari buah. Nah, untuk obat herbal ini, kami akan ekspor ke Korea. Kami bisa lakukan tahun ini. Jumlahnya belum diestimasikan," ucap dia.


Selain ekspor obat herbal sebagai penyembuh penyakit diabetes, Kimia Farma juga akan mengekspor orthosiphonis folium atau daun kumis kucing ke Jerman dan Korea. Daun ini berkhasiat mengobati batu ginjal.

Saat ini, Kimia Farma memiliki lahan seluas 5 hektare (ha) di daerah Banjaran, Jawa Barat, yang ditanami daun kumis kucing. "Tahun ini, kami targetkan semuanya untuk ekspor dan kuantitasnya mencapai 50 ton per bulan," kata Rusdi.

Selain itu, kata Rusdi, pihaknya juga bakal meningkatkan kapasitas ekspor untuk kina dan yodium. Sebelumnya, pada 2011 lalu, Kimia Farma telah mengakuisisi PT Sinkona Indah Lestari (SIL), eksportir hasil olahan kina. "Kami ekspor kina ke Eropa, Tiongkok, dan Amerika Serikat. Targetnya, tahun ini, ekspor dari olahan kina itu bisa tumbuh dua kali lipat," ungkap dia.

Malaysia menghambat

Selain menambah varian produk, Sekretaris Perusahaan Kimia Farma, Djoko Rusdianto menambahkan, pihaknya juga akan memperkuat jaringan layanan apotek di Malaysia dengan cara menggandeng mitra di sana.

Sebetulnya, kerjasama ini sudah dijalankan sejak akhir tahun 2011. Namun, hingga saat ini, apotek Kimia Farma belum juga berdiri. Padahal, Kimia Farma sudah menggandeng Averros Pharmaceuticals Sdn Bhd untuk memuluskan langkah perusahaan membuka apotek di sana. Dengan kerjasama ini, Djoko berharap, Kimia Farma bisa mendapat 2% laba dari penjualan produk di sana.

Djoko berdalih, tidak apotek Kimia Farma belum beroperasi lantaran ada regulasi dari Pemerintah Malaysia yang mewajibkan apoteker dari Indonesia harus bergelar Ph.D. Syarat ini cukup memberatkan perusahaan. "Saat ini, kami masih melobi. Harapannya, kami bisa membuka apotek di sana pada semester I tahun ini. Sebab, nantinya apotek itu akan kami jadikan sarana distribusi untuk bisa memasarkan produk kami ke pasar Asia," katanya.

Dengan berbagai strategi yang dilakukan perusahaan,  Kimia Farma berharap mampu mengejar target laba pada  2013 yang mencapai Rp 225 miliar. Sementara itu, pada 2012 lalu, laba Kimia Farma sebesar Rp 205,7 miliar atau naik 19,8% dibandingkan dengan laba 2011 yang hanya mencapai Rp 171,6 miliar.

Kenaikan laba Kimia Farma tahun lalu lebih banyak didorong oleh pertumbuhan penjualan yang mencapai 8% atau menjadi Rp 3,7 triliun. Di tahun 2011, total penjualan yang dibukukan oleh perusahaan pelat merah farmasi itu sebesar Rp 3,4 triliun.         

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini