Kimia Farma tinggal menanti izin BPOM



JAKARTA. Jika tak ada aral melintang, PT Kimia Farma Tbk mulai memproduksi garam farmasi tahun depan. Produsen obat pelat merah ini menargetkan pabrik baru di Watudakon, Jombang, Jawa Timur, itu bisa menghasilkan 3.000 ton garam farmasi di tahun pertama.

Saat ini, persiapan pembangunan pabrik telah mema-suki tahap pembuatan detailed engineering design dan pengajuan izin. Direktur Utama Kimia Farma Rusdi Rusman memperkirakan, izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan keluar pada bulan Mei nanti.

Kalau dua tahap tersebut terlampaui, perusahaan ini bisa segera masuk proses konstruksi yang diperkirakan memakan waktu enam bulan. Jadi, “Akhir tahun ini selesai. Pemasangan peralatan memakan waktu setahun,” papar Rusdi, Selasa (22/4).


Kimia Farma menaksir pembangunan pabrik garam farmasi ini menelan biaya Rp 28 miliar. Perusahaan akan mencukupi seluruh kebutuhan investasi dari kas internal. Sementara untuk kebutuhan bahan baku pabrik, perusahaan menggandeng PT Garam.

Kimia Farma menghitung, pabrik garam farmasi ini bisa menyumbang pendapatan sekitar Rp 25 miliar dalam setahun pertama beroperasi. Di tahun kedua, perusahaan menargetkan bisa melipatgandakan produksi menjadi 6.000 juta ton. Plus, bisa memproduksi garam pangan.

Rusdi meyakinkan, garam farmasi Kimia Farma memiliki daya saing dengan garam farmasi impor. Asal tahu saja, sejauh ini kebutuhan garam farmasi nasional tercukupi dari impor.

Misal, dari sisi harga, Kimia Farma bisa menjual dengan harga lebih miring. Jika harga jual garam impor Rp 9.000  per kilogram (kg), Kimia Farma berencana melego seharga Rp 6.000–Rp 7.000 per kg.

Tak ayal, meski belum berdiri, Kimia Farma mengaku sejumlah perusahaan sudah menyatakan minat ingin membeli produk Kimia Farma. Sebut saja PT Otsuka Indonesia, PT Mandom Indonesia, dan PT Unilever. Sayang, Rusdi belum mau berbagi informasi perihal total komitmen pembelian para calon pembeli itu.

Di sisi lain, Rusdi juga menyinggung soal potensi penghematan devisa. Dalam hitungan dia, jika perusahaan memproduksi 3.000 ton garam farmasi, negara bisa menghemat devisa US$ 2,5 juta. Nah, kelak jika produksi Kimia Farma bisa terus ditingkatkan menjadi 320.000 ton, negara berpotensi menghemat devisa hingga US$ 2 miliar.

Dus, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan pun mendukung niat Kimia masuk bisnis garam tersebut. “Jadi, dengan nilai investasi Rp 28 miliar sudah bisa menghentikan impor garam farmasi dan garam pangan,” kata Dahlan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anastasia Lilin Yuliantina