Kinerja ANTM & TINS Semester I Dipengaruhi Harga Komoditas



JAKARTA. Anjloknya harga nikel yang masih berlangsung hingga saat ini mempengaruhi kinerja PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Pada semester I 2008, pendapatan perusahaan pelat merah ini anjlok 7,4%. Pada periode yang sama tahun lalu, Antam mampu membukukan pendapatan sebesar Rp 6,01 triliun. Namun, kini, pendapatannya hanya bertengger di angka Rp 5,57 triliun.

Penurunan ini sedikit membingungkan. Pasalnya, volume penjualan feronikel di semester satu ini naik 18% menjadi 8.570 ton nikel dari penjualan tahun lalu yang hanya sebesar 7.268 ton nikel. "Penurunan ini karena harga komoditas feronikel yang turun," kata Bimo Budi Satriyo, Sekretaris Perusahaan Antam hari ini (29/8) di Jakarta. Kata Bimo, pada semester I ini, harga rata-rata feronikel yang dijual Antam sebesar US$ 12,38 per pon. Harga ini turun 31% dibanding harga rata-rata penjualan semester satu tahun lalu sebesar US$ 17,93 per pon.

Selain sedang ketiban sial karena harga yang terus merosot, Antam juga direpotkan dengan beban penjualan yang makin besar. Enam bulan pertama tahun ini, beban pokok penjualan emiten berkode saham ANTM ini melonjak hingga 73,25% menjadi Rp 3,19 triliun dibanding tahun lalu sebesar Rp 1,84 triliun pada periode yang sama.


Beberapa komponen biaya yang menyebabkan lonjakan biaya ini antara lain biaya pemakaian bahan yang naik 148% menjadi Rp 1,13 triliun. Biaya pemakaian bahan ini memiliki kontribusi sebesar 33% terhadap total biaya produksi. Selain itu, 26% kontribusi dari total biaya produksi berasal dari biaya jasa penambangan biji nikel. Nah, untuk biaya yang satu ini, terjadi lonjakan biaya sebesar 130%, menjadi Rp 891 miliar.

Selain itu, kenaikan harga BBM juga ikut meramaikan kebutuhan biaya produksi Antam paruh pertama 2008 ini. Biaya BBM melonjak tajam 52% menjadi Rp 434 miliar. Hampir semua kebutuhan BBM ini digunakan untuk kebutuhan pabrik sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Biaya yang membengkak ini, membuat laba bersih ANTM anjlok 49,01% dari Rp 2,87 triliun di semester satu tahun lalu menjadi Rp 1,47 triliun di enam bulan pertama tahun ini.

Untuk menekan biaya produksi tahun-tahun selanjutnya, ANTM hendak mempercepat konversi energi dengan menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Studi kelayakan pembangkit listrik ini diharapkan selesai akhir tahun. "Kita akan bekerja sama dengan perusahaan Independent Power Producer untuk membuat pembangkit listrik ini," kata Bimo. Untuk menyuplai kebutuhan batubara nanti, Antam tengah mengincar empat tambang batubara di Kalimantan. Saat ini total kebutuhan listrik ANTM sekitar 102 megawatt.

Menurut Analis Valbury Asia Securities Mastono Ali, memang ANTM perlu mengefisienkan biaya yang salah satunya dari kebutuhan listrik. Perusahaan nikel yang lain, PT International Nickel Indonesia Tbk (INCO) dinilai masih lebih efisien. "Margin keuntungan INCO masih lebih baik karena mereka sudah punya pembangkit listrik dengan bahan bakar batubara dan yang baru adalah PLTA," kata Mastono. Makanya langkah konversi energi ini penting untuk memperbesar margin keuntungan ANTM.

Pendapatan TINS Naik Tipis

Sebaliknya, PT Timah Tbk (TINS) berhasil melewati semester I 2008 dengan selamat. Pendapatan eksportir timah ini naik tipis 3,07% menjadi Rp 4,2 triliun, dibanding enam bulan pertama tahun lalu sebesar Rp 4,08 triliun.

Padahal, volume penjualan TINS di semester satu ini turun 31,2% menjadi 20.954 metrik ton, dibanding semester pertama 2007 sebesar 30.456 metrik ton. Penurunan volume penjualan ini karena produksi Timah juga turun. Sampai bulan Juni lalu, produksi timah TINS mencapai 22.992 metrik ton. Produksi ini turun 29% dibanding produksi timah tahun sebelumnya yang mencapai 32.567 ton.

Meski demikian, Timah tetap membukukan keuntungan karena harga rata-rata timah semester satu tahun ini lebih tinggi 45,56% sebesar US$ 19.591 per ton. Sementara tahun lalu, sepanjang semester satu harga rata-rata penjualan timah baru sebesar US$ 13.459 per ton. Selain itu, sebagai pemasok timah terbesar di dunia, TINS cukup bisa mengendalikan harga jual produknya.

Sepanjang semester satu ini, Timah juga bisa menekan beban pokok penjualan hingga 12,76%. Beban pokok penjualan Timah semester satu tahun lalu sebesar Rp 2,6 triliun. Sementara, pada semester satu tahun ini, beban pokok penjualan mencapai Rp 2,27 triliun. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie