KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan pada perekonomian global maupun domestik datang dari berbagai sisi dan bertubi-tubi. Belum sempat perekonomian bangkit dari perlambatan sejak tahun lalu, kini risiko baru datang dari wabah virus corona (Covid-19) dan jatuhnya harga minyak mentah dunia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui, seluruh peristiwa yang terjadi sejak awal tahun menjadi tantangan berat bagi kinerja perekonomian maupun anggaran negara. "Ini adalah suatu fenomena yang perlu kita pelajari dan kita monitor secara sangat intens agar bisa memitigasi dampak negatifnya,” tutur Sri Mulyani, Rabu (18/3).
Baca Juga: Sri Mulyani: Asumsi makroekonomi APBN 2020 akan alami perubahan signifikan Tekanan perekonomian tercermin dari realisasi penerimaan perpajakan yang hingga Februari 2020 hanya tumbuh 0,3% yoy atau sebesar Rp 178 triliun dari target Rp 1.865,7 triliun. Padahal periode yang sama tahun lalu, penerimaan perpajakan tumbuh 10,1% yoy. Sebab, penerimaan pajak dalam negeri terkontraksi 5% atau baru mencapai Rp 152,9 triliun dari target Rp 1.642,6 triliun. Berbanding terbalik dengan pertumbuhan penerimaan pajak periode sama tahun lalu yang sebesar 4,7% yoy. Sri Mulyani pun telah memastikan, defisit APBN 2020 akan lebih lebar dari target awal 1,76% terhadap PDB menjadi 2,5% terhadap PDB. Ini sebagai dampak dari prospek penerimaan yang tertekan ditambah dengan belanja pemerintah pusat yang tidak akan dikurangi. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi yang pada tahun ini awalnya ditargetkan mampu mencapai 5,3%. Namun untuk kuartal pertama saja, pemerintah cenderung pesimistis dan memproyeksikan ekonomi hanya tumbuh pada rentang 4,5%-4,9% yoy. Merebaknya Covid-19 dan jatuhnya harga minyak mentah dunia juga membuat sejumlah indikator makroekonomi lainnya dalam APBN meleset dari asumsi.