KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kinerja sederet bank-bank milik konglomerat Indonesia kurang memuaskan di paruh pertama tahun 2024. Pasalnya dari 10 bank milik konglomerat, hanya 4 bank yang mencatatkan pertumbuhan laba bersih, sisanya sebanyak 6 bank mengalami penurunan laba bersih di semester I-2024. PT Bank Nationalnobu Tbk (
NOBU) alias Nobu Bank milik James Riady, menjadi pencetak pertumbuhan laba bersih tertinggi di antara bank milik taipan lainnya, yakni sebesar 103,98% secara tahunan (
year on year/YoY) mencapai Rp127,75 miliar pada semester I-2024. Pada posisi selanjutnya dengan pertumbuhan laba bersih tertinggi adalah PT Bank Sinarmas Tbk (
BSIM) milik Konglomerat Eka Tjipta Widjaja serta disusul PT Bank Jago Tbk (
ARTO) milik Jerry Ng, yang masing-masing tumbuh sebesar 41,96% yoy dan 23,32% yoy pada semester I-2024.
Baca Juga: Bank Digital Membidik Nasabah Non Ekosistem Selanjutnya bank milik Hartono Bersaudara yakni PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA) mencetak pertumbuhan laba bersih 11,10% YoY mencapai Rp 26,88 triliun pada semester I-2024. Ini sekaligus menjadi jawara pencetak laba terbesar di antara bank milik konglomerat lainnya.
Pertumbuhan kinerja BCA utamanya ditopang ekspansi pembiayaan secara berkualitas, serta peningkatan volume transaksi dan pendanaan. Kredit BCA tumbuh 15,50% YoY menjadi Rp 849,69 triliun pada semester I-2024. Sementara pendanaan (DPK) tumbuh 5% YoY menyentuh Rp1.125 triliun. EVP Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F Haryn mengatakan, kinerja BCA yang positif juga tidak terlepas dari dukungan entitas anak yang terdiversifikasi dalam berbagai lini industri. “Secara keseluruhan, kami melihat entitas anak mampu mempertahankan kontribusinya terhadap profitabilitas Grup BCA,” ungkap Hera kepada Kontan. Di sisi lain, jika melihat penurunan laba bersih bank milik konglomerat di semester I-2024, rata-rata mencatatkan penurunan pendapatan bunga bersih, hingga biaya beban yang membengkak.
Baca Juga: Bank Digital Membidik Nasabah Non Ekosistem Dari 7 bank yang mengalami penyusutan laba bersih, PT Bank Mayapada Internasional Tbk (
MAYA) milik Dato' Sri Tahir yang paling merosot penurunan laba bersihnya, yakni turun 52,74% YoY menjadi Rp 24,41 miliar. Di susul oleh PT Bank Ina Perdana Tbk (
BINA) milik Anthony Salim yang mengalami penurunan laba bersih 40,26% YoY menjadi Rp 68,89 miliar pada semester I-2024. Meski memiliki jaringan besar dari ekosistem bisnis Salim Group, namun Bank Ina hanya mampu mencetak pertumbuhan kredit 5,51% YoY dengan nilai penyaluran sebesar Rp 12,94 triliun pada semester I-2024. Dari sisi pendanaan, Bank Ina hanya meraup DPK sebesar Rp18,44 triliun, naik 1,24% YoY. Para pengamat perbankan menilai, meski memiliki ekosistem yang besar, hal tersebut tidak menjamin mendongkrak kinerja bank milik konglomerat. “Ekosistem yang besar tidak menjadi jaminan, kemampuan mendapatkan dana murah yang paling menentukan. BCA yang paling mampu mengumpulkan dana masyarakat dengan
cost of fund yang rendah sehingga NIM mereka tinggi dan laba mereka besar. Di sisi lain mereka juga mampu mendorong
fee based income dari berbagai transaksi perbankan,” ungkap Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah kepada Kontan, Selasa (6/8). Lebih lanjut Piter menyebut, kinerja bank konglomerat yang rata-rata merupakan bank bermodal mini, makin tertekan di tengah ketatnya likuiditas saat ini.
Cost of fund bank-bank meningkat dan menekan NIM. “Itu yang menyebabkan mayoritas bank menengah kecil mengalami penurunan kinerja,” ungkap Piter. Senada, SVP Research of Head LPPI Trioksa Siahaan mengatakan, meski ekosistem mampu mendongkrak kinerja bank, namun jika usaha dari grup juga sedang mengalami tekanan. Hal ini tentu ikut berpengaruh kepada kinerja bank.
Baca Juga: Tak Hanya Andalkan Ekosistem, Bank Digital Garap Penyaluran Kredit Secara Mandiri “Untuk bank di samping ekosistem, yang dapat mempengaruhi kinerja adalah bagaimana bank dapat mengelola efisiensinya dengan baik atau rasio BOPO dapat dijaga di bawah 80%,” ungkap Trioksa.
Di sisi lain, bank juga tidak bisa sembarangan dalam menyalurkan kreditnya pada ekosistem yang dimiliki. “Khusus tentang hubungan konglomerasi dan bank yang dimiliki group yang sama, ada aturan pembatasan bisnis bank pada grup konglomerasi untuk mencegah konflik kepentingan dan memastikan kesehatan keuangan institusi,” ungkap Arianto Muditomo, Pengamat Perbankan dan Sistem Pembayaran. Dia juga menyebut, kinerja bank bukan semata-mata didongkrak oleh kontribusi group, tetapi seberapa mampu bank merebut kepercayaan dari nasabahnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .