KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten farmasi memiliki prospek cerah dalam menghadapi kinerja di tahun 2023. Walaupun pada tahun 2022 mengalami penurunan kinerja akibat kenaikan bahan baku. Seperti, PT Indo Farma Tbk (
INAF) mencatat kenaikan rugi bersih pada 2022 menjadi Rp 428 miliar dibandingkan tahun 2021 sebesar Rp 37 miliar. Selain INAF, PT Kimia Farma Tbk (
KAEF) juga menderita kerugian sebesar Rp 170,04 miliar pada tahun 2022. Angka rugi bersih KAEF ini memburuk dibanding tahun 2021 yang masih membukukan laba bersih sebesar Rp 302,27 miliar.
Analis Research Associate Henan Putihrai Sekuritas, Ezaridho Ibnutama mengatakan cukup optimis industri farmasi Indonesia pada tahun 2023 akan berkembang menjadi lebih tangguh dalam menghadapi Resesi Global yang akan datang, karena telah menyesuaikan diri terhadap kenaikan biaya produksi dan akibat inflasi yang tak terkendali pada tahun 2022.
Baca Juga: Ini Rekomendasi Saham Lapis Kedua & Ketiga yang Cocok untuk Trading dan Diversifikasi Adapun pelemahan industri farmasi lantaran tidak dapat menyerap biaya yang disebabkan oleh inflasi yang tak terkendali yang melonjak hingga 4,35% pada Juni 2022 dan perusahaan farmasi memilih untuk melanjutkan kenaikan biaya produksi dengan menaikkan harga produk. Eza mencontohkan seperti KLBF dan
SIDO menaikkan masing-masing harga produk tertentu sebesar 5% dan 3% hingga 8% untuk meredam dampak inflasi meskipun keyakinan konsumen melemah di semester pertama di 2022. Menurut Eza meningkatnya Inflasi berdampak pada biaya bahan baku dan biaya kemasan plastik. Komponen utama dalam kemasan plastik yaitu High-Density Polyethylene (HDPE) mengalami peningkatan hingga tertingginya dalam 5 tahun di US$ 1.216/metrik ton per Mei 2022. "Untuk mengatasi ketidakpastian ekonomi seperti krisis dan resesi rantai pasokan global, perusahaan farmasi berfokus pada bahan baku yang bersumber lokal," Ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (3/4). Eza mengatakan mencontohkan seperti KLBF yang memperluas ke produk herbal seperti Fatigon Promuno dan Health & Happiness (H2) Cordyceps Militaris dan membangun pusat perdagangan di China untuk mengamankan bahan baku impornya setelah lockdown yang terjadi. Sementara, KAEF sudah memproses 12 bahan baku medis secara lokal, dan berencana untuk memproses hingga 28 bahan baku obat pada tahun 2024.
Adapun 5 importir Bahan Baku Medis teratas yaitu China yang terbesar dengan US$ 2,33 miliar, yang berkontribusi 72%, diikuti oleh AS (13%), Belgia (7%), Spanyol (6%), dan Belanda (2%).
Baca Juga: Phapros Pastikan Ketersediaan Multivitamin Penunjang Aktivitas Fit Selama Ramadan Eza mengatakan meski 90% bahan baku obat masih diimpor, Kementerian Kesehatan menargetkan dapat memasok 50% bahan baku obat biofarmasi, vaksin, bahan kimia Bahan Aktif Farmasi (API) dalam negeri, dan jamu alami. Adapun dalam rangka menpromosikan penggunaan bahan baku herbal lokal, Kementerian Kesehatan Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Menkes Farmalkes) meluncurkan Formularium Fitofarmaka yang merupakan pedoman seleksi fitofarmaka untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Karena 5 item yang tercantum dalam Formularium Fitofarmaka telah dimasukkan ke dalam Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP), 5 item fitofarmaka akan dapat dibeli melalui skema asuransi kesehatan nasional BPJS Kesehatan. Eza mengatakan menginisiasi peringkat
overweight untuk industri farmasi Indonesia karena fokus industri untuk beralih ke bahan baku lokal untuk mengurangi risiko impor karena pasar internasional memasuki resesi global.
Baca Juga: Bidik Pertumbuhan Seperti Pra-Pandemi, KAEF Tambah Produk Selain sebagai sektor yang defensif, Eza juga mengunggulkan Industri Farmasi dengan pembayaran dividen yang konsisten setiap tahunnya. Seperti SOHO dan KAEF, KLBF dan SIDO memiliki frekuensi dividen tahunan dan semesteran. Eza merekomendasikan beli untuk saham KLBF dengan target harga Rp 2.300. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli