Kinerja Ekspor Indonesia ke Australia Terancam Kebijakan CBAM



KONTAN.CO.ID-JAKARTA Kinerja ekspor Indonesia dibayang-bayangi kebijakan carbon border adjustment (CBAM) atau pengenaan tarif barang impor yang tinggi emisi karbon. Tidak hanya Uni Eropa, negara tujuan ekspor Indonesia seperti Australia dikabarkan akan menerapkan kebijakan serupa.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan bahwa saat ini pemerintah Australia masih melakukan kajian terhadap penerapan CBAM di negara tersebut.

"Sehingga saat ini kami juga masih menunggu apakah produk yang dikenakan tarif karbon di Australia akan sama dengan yang diterapkan Uni Eropa atau tidak," ujar Josua kepada Kontan.co.id, Jumat (28/6).


Josua menjelaskan, produk-produk yang dikenakan tarif karbon (CBAM) di Uni Eropa adalah semen, besi dan baja, aluminium, pupuk dan listrik. 

Melihat ekspor produk Indonesia ke Australia saat ini, pada kuartal I-2024, produk besi dan baja (HS 73), pupuk (HS 31), dan perlengkapan (HS 85) menjadi produk ekspor terbesar dari Indonesia ke Australia. Namun produk-produk tersebut merupakan produk yang menghasilkan emisi cukup tinggi dalam proses produksinya.

"Kami menilai salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para eksportir dalam mengurangi emisi yang dihasilkan adalah menggunakan pembangkit energi baru dan terbarukan di dalam proses produksinya," kata Josua.

Selain itu, dalam jangka menengah-panjang, investasi pada teknologi produksi yang rendah karbon juga dapat membantu mengurangi emisi karbon yang dihasilkan.

"Dibutuhkan informasi lebih lanjut untuk mengetahui dampak dari penerapan border carbin adjustment yang akan dilakukan oleh pemerintah Australia, terutama dari sisi teknis penerapan dan sektor yang dikenakan," pungkasnya.

Baca Juga: Tahun Depan, Penerapan Mandatori Biodiesel B40 Ditargetkan Mulai Jalan

Sementara itu, Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI), Banjaran Surya Indrastomo menyebut, isu terkait tarif karbon memang menjadi perhatian seiring komitmen negara-negara G20 untuk menuju net zero emission 2060. Dengan begitu, berbagai negara menginisiasi sejumlah program, termasuk menerapkan tarif ekspor berbasis karbon.

Hanya saja, Banjaran memperkirakan kinerja ekspor Indonesia masih cukup baik lantaran kebijakan tersebut masih memerlukan waktu untuk implementasinya.

"Kami melihat bahwa wacana tarif karbon masih memerlukan waktu untuk implementasi. Sehingga pada jangka menengah kami memperkirakan bahwa kinerja ekspor komoditas utama masih positif," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih