Kinerja Emiten CPO Diprediksi Melemah Seiring Tekanan Harga CPO



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Harga minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) dalam tren melemah. Analis menilai, efeknya kinerja emiten CPO akan cenderung tertahan di tahun ini.

Melansir Trading Economics, harga CPO tercatat di level MYR 3.785/ton pada Jumat (15/9). Dalam sepekan, harga CPO melemah 1,17%. Sedangkan dalam sebulan terakhir harga CPO melemah 1,59%.

CEO Edvisor.id Praska Putrantyo mengatakan, pelemahan harga CPO akhir-akhir ini cenderung dipengaruhi oleh peningkatan stok minyak sawit dan menurunnya ekspor sawit di Malaysia. 


Baca Juga: Kinerja CPO Tertekan, Intip Rekomendasi Saham Emitennya

Oleh sebab itu, kinerja emiten CPO di Indonesia diperkirakan melambat sepanjang 2023, bahkan menurun dibanding periode 2022.

"Karena tren harga CPO yang mulai melandai dan terkonsolidasi di bawah MYR 4.000 per ton atau lebih rendah dibanding harga rata-rata tahun lalu," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (17/9).

Ke depan, prospek harga CPO lebih dipengaruhi oleh harga komoditas pengganti, seperti harga minyak kedelai dan minyak biji matahari. Selain itu juga sentimen kondisi suplai dan stok sawit di Malaysia, serta tren permintaan dari India dan China, sebagai salah satu importir CPO terbesar di dunia.

Meski begitu, Praska melihat sejumlah emiten CPO yang masih menarik diamati adalah PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) dan PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG). Sebab, keduanya memiliki valuasi murah dan masih mampu mencetak pertumbuhan positif dibanding periode sama tahun lalu.

Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Muhammad Nafan Aji Gusta juga juga menuturkan bahwa untuk saat ini harga CPO masih cenderung sideways.  Ia memperkirakan kenaikan harga CPO baru akan terjadi di tahun depan, mengingat saat ini permintaan yang masih lesu.

Menurutnya, sejumalah faktor yang dapat mendongkrak harga CPO terkait potensi peningkatan permintaan dari China, India, dan dari sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa. 

"Selanjutnya, terkait potensi kenaikan harga minyak dunia seiring dengan adanya kebijakan OPEC+, lalu juga tensi geopolitik di kawasan Eropa," katanya.

Sementara itu, analis NH Korindo Sekuritas Cindy Alicia Ramadhania justru melihat masih ada harapan harga CPO naik di tahun ini.  Menurutnya, di tengah lesunya permintaan minyak sawit mentah, sentimen positif datang dari dalam negeri terkait Program B35.

Sebagai informasi, pemerintah secara resmi telah menerapkan penggunaan campuran minyak sawit 35% pada bahan bakar secara masif atau biodiesel 35% (B35) mulai 1 Agustus 2023.

"Adanya program ini tentunya dapat mendongkrak permintaan minyak sawit dalam negeri dan dapat membantu menjaga harga CPO," sambungnya.

Kemudian dari sisi cuaca, berakhirnya La Nina diharapkan dapat membawa pemulihan operasional. Selain itu, terjadinya El Nino pada semester II 2023 yang dikenal dengan cuaca ekstrem juga diharapkan dapat memberikan dampak positif dari sisi penguatan harga.

Namun memang, sejumlah katalis positif tersebut belum akan mampu mengerek naik kinerja emiten CPO secara signifikan. Ia mencontohkan kinerja PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) yang diprediksi mencetak pendapatan tahun ini sebesar Rp 20,43 triliun atau turun 6,37% dari realisasi tahun 2022 sebesar Rp 21,82 triliun dan laba bersih diperkirakan susut 53,48% menjadi Rp 802 miliar.

Baca Juga: Hingga Akhir Tahun, Astra Agro Lestari (AALI) Targetkan Produksi TBS Naik 5%

Perkiraan tersebut berdasar dari tertekannya kinerja perseroan sepanjang semester I 2023. Adapun pendapatan AALI tercatat turun 14,4% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 9,4 triliun dengan seluruh segmen mengalami penurunan.

Laba bersih AALI juga tercatat menyusut 54,6% YoY menjadi Rp 367,6 miliar. Penyusutan kinerja perseroan salah satunya akibat kenaikan beban penjualan sebesar 48,2% YoY, terutama berasal dari beban angkut dan pengiriman.

Analis Sinarmas Sekuritas Axel Leonardo juga melihat, kinerja emiten CPO masih akan tertekan akibat kenaikan beban penjualan.

Contohny LSIP yang mengalami kontraksi yang signifikan akibat kenaikan yang tidak terduga pada pembelian TBS dan biaya perawatan dan penanaman masing-masing sebesar 54% secara kuartalan (QoQ) dan 21% QoQ di kuartal II 2023.

Alhasil, kinerja LSIP juga tertekan dengan pendapatan turun 3,84% menjadi Rp 1,88 triliun. Sementara laba bersihnya turun 78% YoY menjadi Rp 166,5 miliar.

Sehingga, Sinarmas Sekuritas memproyeksikan pendapatan LSIP sebesar Rp 4,08 triliun atau turun dari tahun 2022 sebesar Rp 4,58 triliun. Sementara laba bersih diprediksi sebesar Rp 557 miliar dari Rp 1,03 triliun.

Meski demikian, Axel mengamati LSIP memiliki kas setara kas sebesar Rp 4,1 triliun. Setelah dikurangi dengan pembagian dividen sebesar sekitar Rp350 miliar di bulan Juli, saldo kas akan tetap sebesar Rp 3,8 triliun, yang setara dengan 52% dari kapitalisasi pasar saat ini, yang juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kas terhadap kapitalisasi pasar rata-rata sebesar 20% yang diamati dalam 10 tahun terakhir.

"Yang menarik, perusahaan tidak memiliki utang dalam struktur modalnya, yang menempatkannya pada posisi yang aman bahkan jika perusahaan mengalami laba negatif. Cadangan kas yang sehat memberi perusahaan penyangga keuangan yang kuat untuk menghadapi masa-masa sulit atau berinvestasi pada peluang pertumbuhan," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi