KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten produsen CPO menurun pada kuartal I-2019. Sebagian emiten menunjukkan penurunan laba bersih. Bahkan, sebagian lagi mencatatkan penurunan pendapatan. PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (
LSIP, anggota indeks
Kompas100) misalnya, per kuartal I-2019 mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 66,7% menjadi Rp 38,62 miliar. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, laba bersih LSIP adalah sebesar Rp 115,99 miliar. Sementara itu, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (
SIMP, anggota indeks
Kompas100) mencatatkan kerugian hingga Rp 31,26 miliar. Padahal, periode yang sama tahun sebelumnya, SIMP membukukan laba bersih sebesar Rp 111,19 miliar.
Per kuartal I-2019 ini, PT Sampoerna Agro Tbk (
SGRO) juga mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 76,61% menjadi Rp 3,58 miliar. Sementara itu, pada periode yang sama tahun 2018, laba bersih SGRO adalah sebesar Rp 15,32 miliar.
Head of Investor Relations SGRO Michael Kesuma mengatakan, penurunan keuntungan ini adalah dampak dari penurunan harga jual. Per kuartal I-2019, harga jual rata-rata CPO turun 17% secara tahunan menjadi Rp 6.641 per kilogram. Meskipun begitu, Direktur Komersial SGRO Lim King Hui mengatakan, perusahaannya melihat prospek harga minyak sawit yang cukup baik. “Kami melihat prospek harga minyak sawit cukup baik, setidaknya dalam waktu dekat ini karena harga kontrak berjangka minyak gas bumi saat ini berada pada posisi premium, yakni melebihi US$ 100 jika dibandingkan harga minyak sawit,” kata Lim dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Selasa (30/4). Dengan melihat selisih harga tersebut, berarti serapan konsumsi minyak sawit untuk sektor energi bisa membesar. Selisih harga antara minyak gas bumi dan minyak sawit semakin melebar dengan rata-rata sebesar US$ 120 pada April 2019. Angka ini jauh di atas rata-rata pada triwulan pertama 2019 yang di bawah US$ 75 dolar. Sementara itu, Michael melihat, bakal ada peningkatan harga jual pada kuartal II-2019 walau tidak signifikan. “Kalau dibandingkan harga saat ini akan sedikit membaik tapi akan kembali turun di akhir tahun,” ucap dia saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (6/5). Selain itu, menurut Michael, penurunan laba bersih di kuartal I-2019 juga disebabkan oleh skala produksi di kuartal I-2019 yang masih kecil. SGRO mencatatkan penurunan persediaan produk sawit turun sebesar 41% pada triwulan pertama, dari Rp 229,59 miliar pada awal 2019 menjadi Rp 136,42 miliar pada penghujung Maret 2019. Alasannya, volume panen di triwulan pertama tidak besar karena siklus panen sawit berada pada level yang rendah. Nah, penarikan persediaan pada periode ini cukup berdampak pada kinerja penjualan. Ditambah lagi dengan tren harga komoditas tahun ini masih jauh di bawah tahun lalu. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kinerja ke depannya, SGRO bakal menjalankan berbagai upaya untuk meningkatkan produksinya baik segi kualitas dan kuantitas. Tahun ini, SGRO menargetkan pertumbuhan produksi CPO 5%-10% dari tahun lalu. Per 2018, SGRO mencatatkan produksi CPO mencapai 387.313 ton. Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT Mahkota Group Tbk (
MGRO) Elvi mengatakan, perusahaannya bakal meningkatkan kinerja ke depannya. Salah satunya adalah dengan program hilirisasi. “Sebagai tahap awal saat ini perseroan sedang menyelesaikan pabrik
refinery dengan kapasitas produksi 1.500 ton/hari. Progres pembangunannya saat ini sudah 60%,” kata dia. Tidak hanya penurunan laba bersih, beberapa emiten juga mencatatkan penurunan pendapatan. PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (
ANJT) mencatatkan pendapatan US$ 27,6 juta sepanjang kuartal I-2019. Angka ini menurun 11% dibanding periode sama tahun sebelumnya yang sebesar US$ 30,95. Begitu juga dengan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (
SSMS, anggota indeks
Kompas100) yang mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 6.11%, dari Rp 900,8 miliar menjadi Rp 845,76 miliar. Analis Jasa Utama Capital Chris Apriliony mengatakan, harga saham-saham sektor CPO pada tahun ini cukup tertekan karena masih adanya pembatasan ekspor CPO oleh negara-negara di Eropa. “Hal tersebut tercermin dari laba perusahaan-perusahaan CPO yang menurun cukup signifikan,” kata dia. Oleh karena itu, ia merekomendasikan investor untuk
wait and see. Sementara bagi yang sudah punya saham dalam sektor ini ia merekomendasikan untuk
hold. “Hingga mulai terlihat pembalikan kinerja perusahaan sektor CPO karena seiring dengan memburuknya kinerja harga sahamnya pun ikut terkena dampak penurunannya,” ucap dia.
Chris juga sama sekali tidak merekomendasikan
buy untuk saham-saham di sektor ini. Sementara itu, Analis RHB Sekuritas Andre Benas dan Ja’far Saifuddin merekomendasikan netral terhadap saham SSMS. Kedua analis ini juga menurunkan target harganya hingga akhir tahun sebesar 6% menjadi Rp 1.020. Mengingat, SSMS mengalami penurunan pendapatan dan laba bersih pada kuartal I-2019. Mereka juga memproyeksi adanya produksi yang moderat dari SMSS hingga akhir tahun. Per perdagangan Senin (6/5), harga saham SSMS adalah sebesar Rp 1.080 atau menurun 0,92%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi