KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mayoritas emiten sudah merilis kinerja keuangan semester pertama 2024. Tim Analis BCA, Lazuardin Thariq Hamzah dan Barra Kukuh Mamia melihat, raihan pertumbuhan pendapatan dan realisasi anggaran belanja modal alias
capital expenditure (capex) emiten dinilai memburuk sepanjang semester I 2024. Lazuardin mengatakan, perlambatan raihan pendapatan dan realisasi capex menunjukkan bahwa para emiten cenderung menggunakan kas untuk kebutuhan, bukannya untuk melakukan ekspansi dan mendapatkan keuntungan lebih.
Alhasil, permintaan asing terhadap saham Indonesia masih lemah. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya volume perdagangan dan aliran masuk asing yang hanya sebesar US$ 0,14 miliar ke Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam seminggu terakhir. “Alasan pasar saham Indonesia masih lesu adalah investor asing tidak terlalu tertarik pada prospek pendapatan para emiten saat ini,” ujarnya dalam riset tertanggal 5 Agustus 2024.
Baca Juga: Wall Street Menguat Saat Pembelian Saham Big Tech Terus Berlanjut, Rabu (7/8) Pendapatan emiten mungkin naik dari -2,98% secara tahunan alias
year on year (YoY) di kuartal I ke -2,3% YoY di kuartal II. Namun, pertumbuhan itu bukanlah hal yang menggembirakan. “Pelemahan pendapatan para emiten ini karena kinerja mereka terdikte oleh fluktuasi harga komoditas,” paparnya. Secara sektoral, penurunan pendapatan sektor mineral tercatat paling tinggi, yaitu turun 18,5% YoY. Lalu, sektor paper & forestry turun 4,6% YoY, sektor industri turun 3,7% YoY. Memburuknya permintaan dari pasar membuat para emiten juga menekan penyerapan realisasi capex di mayoritas sektor, kecuali emiten kimia dan emiten batubara yang realisasi capex naik 153,9% YoY. Sektor yang serapan capex turun paling dalam adalah sektor jasa industri yang terkoreksi 48,2% YoY. Sektor metals & mining turun 24,8% YoY dan sektor telekomunikasi turun 22,5% YoY. PMI manufaktur Indonesia mengalami kontraksi pada bulan Juli 2024, pertama kalinya sejak Agustus 2021. Hal ini menunjukkan periode yang lambat untuk investasi di masa depan.
Baca Juga: RNTH di Bursa Kembali Sepi, Begini Penjelasan BEI Di sisi lain, tingkat pinjaman bank untuk industri pun terkerek akibat perlambatan pendapatan, sehingga mendorong para emiten untuk mengambil lebih banyak pinjaman di kuartal II. “Kondisi ini juga menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia mungkin masih perlu waktu pemulihan lagi untuk beberapa saat pascapandemi Covid-19,” paparnya. Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan, saat sebagian besar harga saham turun dan hanya sedikit yang naik, memang banyak investor ritel dan sebagian investor institusi menahan diri untuk tidak trading atau bertransaksi. Namun, Budi melihat, sebagian besar dapat memenuhi ekspektasi di semester I 2024. “Beberapa sektor, seperti emiten
poultry dan emiten farmasi laba bersihnya meningkat di semester I 2024,” katanya kepada Kontan.co.id, Rabu (7/8).
Baca Juga: IHSG Ditutup di 7.212 Hari Ini (7/8), BBCA, BMRI, TPIA Paling Banyak Diburu Asing Di sisi lain, serapan capex emiten di semester I yang masih rendah disebabkan oleh para emiten yang masih wait and see dengan kondisi pasar yang masih lesu. Kondisi ini kemungkinan masih akan terjadi hingga kuartal III. “Mereka tengah wait and see, karena menunggu kabinet baru dan kebijakan presiden baru juga. Plus, ini untuk mengantisipasi resesi di beberapa negara besar juga,” ungkapnya. Terkait peningkatan jumlah emiten yang mengambil kredit perbankan, Budi melihat, langkah tersebut karena menjadi salah satu langkah termudah untuk mendapatkan dana di tengah kondisi pasar yang tak menentu. Pilihan pendanaan emiten di antaranya adalah mengambil kredit bank atau rights issue. Pada saat harga saham emiten sedang tidak tinggi, mengambil kredit bank akan lebih menguntungkan. Sementara, pada saat harga saham-saham nanti sudah tinggi, emiten akan memilih untuk
rights issue. “Ini praktik lumrah dan biasanya disebut perusahaan tengah berusaha melakukan market timing. Ini sepertinya yang tengah terjadi di bursa kita saat ini,” paparnya.
Baca Juga: Hasil Investasi Asuransi Jiwa Susut 29,99% per Juni 2024 Meskipun pasar tengah lesu, momentum ini bisa dimanfaatkan oleh investor untuk masuk berinvestasi di bursa. Kata Budi, sektor komoditas, seperti batubara dan perbankan bisa dipilih. Sementara, saat bunga turun properti dan consumers goods juga menjadi menarik. “Komoditas dan perbankan masih bagus, tetapi properti dan consumer goods tergantung penurunan suku bunga dan peningkatan daya beli,” ungkapnya. Head of Research RHB Sekuritas Indonesia Andrey Wijaya mengatakan, kinerja sejumlah emiten di semester I masih mampu memenuhi ekspektasi pasar. Sektor yang kinerjanya unggul di semester I adalah sektor kesehatan, poultry, otomotif, pertambangan logam, dan properti kawasan industri. Pendapatan sektor perbankan sejalan dengan pertumbuhan kredit yang solid, yaitu 5,1% YoY. Sementara, sektor konsumen menunjukkan hasil yang beragam. Sementara itu, sektor ritel, tembakau, dan semen berkinerja buruk. Sektor layanan kesehatan mencatatkan volume pasien yang kuat dan memiliki prospek yang lebih baik pada kuartal III 2024. Sektor
poultry mendapat manfaat dari rata-rata harga jual alias
average selling price (ASP) yang lebih tinggi dan biaya yang lebih rendah. Lalu, sektor otomotif unggul karena segmen suku cadang, alat berat, dan pembiayaan kendaraan. Peningkatan kinerja sektor pertambangan logam disebabkan oleh peningkatan penjualan feronikel dan bijih nikel. ”Di sisi lain, sektor ritel dan tembakau dilanda penurunan volume penjualan dan kenaikan biaya,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (7/8).
Baca Juga: IHSG Menguat 1,16% Hari Ini (7/8), Begini Proyeksi Esok Andrey merekomendasi beli untuk
AKRA,
BBCA,
BMRI,
BBRI,
MIKA, dan
AMRT dengan target harga masing-masing Rp 1.950 per saham, Rp 12.060 per saham, Rp 8.100 per saham, Rp 5.900 per saham, Rp 3.500 per saham, dan Rp 3.400 per saham. Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus melihat, realisasi capex emiten bergantung pada kebutuhan masing-masing emiten. “Namun, saat kondisi makroekonomi dan industri tak mendukung, tentu wait and see akan jadi pilihan, sehingga capex tidak akan diserap sepenuhnya,” ungkapnya kepada Kontan, Rabu (7/8). Di semester II, pertumbuhan pendapatan dan serapan capex para emiten diproyeksikan akan lebih tinggi dibandingkan paruh pertama tahun ini. Sentimen positifnya adalah adanya pilkada, pelantikan presiden, pemilihan kabinet baru, hingga potensi pemangkasan suku bunga The Fed.
Sentimen negatifnya adalah peningkatan tensi geopolitik dan batalnya pemangkasan tingkat suku bunga The Fed. ”Sektor yang bisa dilirik investor adalah perbankan,
consumer non-cyclical, energi, tambang emas, infrastruktur, dan
consumer goods,” tuturnya. Nico pun merekomendasikan beli untuk BBCA dengan target harga Rp 11.300 per saham, BBRI Rp 5.600 per saham, BMRI Rp 7.400 per saham, BBNI Rp 6.000 per saham, AMRT Rp 3.400 per saham, ICBP Rp 13.100 per saham, MYOR Rp 2.980 per saham, MAPI Rp 1.900 per saham, ACES Rp 1.000 per saham, MEDC Rp 1.900 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati