KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten farmasi BUMN belum mencatatkan kinerja positif pada 2022. PT Indofarma Tbk (
INAF) dan PT Kimia Farma Tbk (
KAEF) kompak mengalami kenaikan rugi bersih. Mengutip laporan keuangannya, PT Indo Farma Tbk (INAF) mencatat kenaikan rugi bersih pada 2022 menjadi Rp 428 miliar dibandingkan tahun 2021 sebesar Rp 37 miliar. Selain INAF, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) juga menderita kerugian sebesar Rp 170,04 miliar pada tahun 2022. Angka rugi bersih KAEF ini memburuk dibanding tahun 2021 yang masih membukukan laba bersih sebesar Rp 302,27 miliar. Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto menilai penyebab utama kenaikan rugi emiten farmasi BUMN karena berakhirnya masa pandemi, sehingga permintaan obat menurun signifikan.
Baca Juga: Punya Prospek Cerah pada 2023, Cermati Rekomendasi Emiten Farmasi Adapun, pada masa pandemi pemerintah banyak membagikan obat kepada masyarakat, termasuk yang gejala ringan pun mendapat bantuan obat yang cukup banyak. Para produsen obat terutama BUMN seperti KAEF dan INAF tentu menjadi salah satu yang kebanjiran order, sehingga ketika pandemi berlalu sulit untuk mempertahankan kinerja. "Kemudian faktor kenaikan bahan baku juga menjadi sentiment negative lain, yang menggerus profit margin para emiten," jelasnya kepad Kontan.co.id, Senin (3/4). Pandhu menambahkan faktor lainnya berasal dari nilai kurs rupiah yang lebih lemah menambah beban karena sebagian bahan baku berasal dari impor. Ke depannya, menurut Pandhu kondisi pasca pandemi saat ini tentu akan sulit bagi para emiten farmasi untuk menggenjot dari sisi penjualan obat secara signifikan. Pandhu mengatakan strategi yang bisa lebih dilakukan untuk mendorong kinerja pada 2023 yaitu pengembangan segmen
healthcare dan distribusi. Dari sisi internal bisa melakukan efisiensi, seperti menurunkan rasio
cost employee to revenue yang masih relatif tinggi dan memperbaiki struktur permodalan supaya tidak terlalu terbebani oleh hutang. Untuk tahun 2023, Pandhu mengatakan investor perlu melihat terlebih dahulu bagaimana kinerja emiten farmasi BUMN pada kuartal I-2023, karena hingga akhir tahun 2022 belum ada katalis yang kuat, secara performa masih menurun sehingga belum dilirik oleh para investor meskipun harga sahamnya sudah turun signifikan. Pandhu merekomendasi
wait and see terlebih dahulu untuk emiten farmasi BUMN dan menunggu perbaikan kinerja. Sementara, Analis Kanaka Hita Solvera Andika Cipta Labora menyampaikan sentimen yang membuat kinerja emiten farmasi tertekan karena kenaikan bahan baku yang disebabkan oleh melemahnya nilai rupiah. Di sisi lain pergerakan emiten farmasi secara teknikal masih
downtrend, sehingga belum ada sinyal untuk pergerakan harga mengalami kenaikan. "Masih
downtrend dan penurunannya sudah terbatas, tetapi belum ada sinyal pembalikan arah, selain itu penurunan akan terjadi hingga semester 1 2023," Jelasnya. Andika mengatakan pada tahun 2023 emiten farmasi prospeknya masih akan berat karena harga bahan baku yang masih tinggi. Selain itu pandemic covid 19 yang sudah terkendali membuat akan turunnya permintaan terhadap alat test PCR dan antigen.
Baca Juga: Bidik Pertumbuhan Seperti Pra-Pandemi, KAEF Tambah Produk Selain itu, pergerakan saham emiten farmasi juga masih
downtrend. Andika menyarankan lebih baik investor jika ingin membeli saham farmasi untuk hanya untuk
speculative buy dan untuk jangka panjang. Menurut Andika emiten farmasi BUMN belum memiliki sentimen positif ke depannya, sementara sentimen negatif berasal dari kenaikan harga bahan baku yang masih tinggi dan pandemi covid 19 yang sudah terkendali membuat akan turunnya permintaan terhadap alat test PCR dan antigen. Andika merekomendasikan
Speculative Buy untuk saham KAEF dengan target harga Rp 1.050 dan INAF dengan target harga Rp 830. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .