JAKARta. Tahun 2012 agaknya menjadi tahun yang suram bagi pasar modal Indonesia. Imbas keterpurukan harga komoditas pertambangan dan perkebunan di pasar global, kinerja emiten-emiten di kedua sektor tersebut merosot. Bobot kedua sektor itu cukup signifikan menentukan arah kinerja emiten Bursa Efek Indonesia (BEI) secara keseluruhan. Otoritas BEI memperkirakan, laba bersih emiten-emiten BEI tahun ini hanya tumbuh 20%. Angka itu jauh menurun dibandingkan pencapaian tahun lalu. Ito Warsito, Direktur Utama BEI, menuturkan, tahun lalu, laba bersih emiten BEI yang dibukukan mencapai Rp 173 triliun, naik 38% year-on-year dibandingkan tahun 2010 sebesar Rp 125,36 triliun.
Jika prediksi BEI tidak meleset, maka total laba bersih emiten BEI tahun ini hanya Rp 207,6 triliun. "Beberapa emiten memang turun sekali labanya seperti emiten batubara," ujar Ito, Jumat (2/11). Emiten batubara kakap seperti PT Adaro Energy Tbk (
ADRO) dan PT TB Bukit Asam Tbk (
PTBA), laba bersihnya tergerus. Demikian juga emiten agrobisnis, seperti PT Astra Agro Lestari Tbk (
AALI) dan PT Sampoerna Agro Tbk (
SGRO). Untung, sektor lain seperti perbankan, konsumer, dan infrastruktur, tetap tangguh. Emiten-emiten
bluechips perbankan seperti PT Bank Mandiri Tbk (
BMRI), PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (
BBRI) mengkilap kinerjanya. Felix Sindhunata, Kepala Riset Henan Putihrai, menilai, melambatnya pertumbuhan kinerja emiten BEI, terutama komoditas, tergolong wajar dan sehat. "Harga komoditasnya sedang turun," kata dia. Kondisi saat ini, menurut Felix, belum memudarkan pamor aset-aset di bursa. Dia optimistis, di sisa tahun ini, aliran dana asing masih akan mengalir sehingga valuasi saham dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terangkat. Jhon Veter, Managing Director Investa Saran Mandiri, menilai kendati pertumbuhan kinerja emiten di BEI lebih kecil, namun valuasi saham masih bagus.
Price to Earning Ratio (PER) beberapa sektor tercatat lebih murah, tahun ini. Dia mencontohkan, PER saham sektor manufaktur rata-rata 20x, tahun 2011 silam. Kini, PER sektor tersebut turun ke kisaran 15x-16x. Lalu, PER sektor perbankan kini berkisar 14x. "Turunnya PER bukan karena sahamnya naik, tapi lebih karena peningkatan earning emiten. Itu indikasi bagus," ujar dia. Kapitalisasi pasar Tahun lalu, pertumbuhan laba emiten BEI memang lebih tinggi. Namun, kenaikan itu tidak terjadi merata di seluruh sektor. Berkebalikan dengan saat ini, harga komoditas tahun lalu sedang bagus, hingga kinerja emiten tambang dan agrobisnis terdongkrak. Nilai kapitalisasi pasar saham sektor tambang di BEI mencapai 30%. Jhon memperkirakan, emiten di BEI masih memiliki peluang untuk mencetak pertumbuhan laba bersih berkisar 17%-22%. Syaratnya, penanaman modal langsung oleh asing di Indonesia, makin deras. Jika pertumbuhan ekonomi diproyeksikan 6,7% tahun depan, pertumbuhan industri bisa naik tiga kali lipat.
Sementara itu, Ito mengklaim, kondisi pasar saham saat ini lebih baik karena tidak ada emiten yang telalu mendominasi kapitalisasi pasar. Saat ini, ada delapan emiten dengan kapitalisasi pasar di atas Rp 100 triliun. Lima tahun silam, nilai kapitalisasi pasar BEI dikuasai oleh tiga emiten saja. PT Astra Internasional Tbk (
ASII) menjadi emiten berkapitalisasi saham terbesar, dengan nilai Rp 319,8 triliun, atau 7,8% dari total kapitalisasi BEI per Kamis (1/11). PT HM Sampoerna Tbk (
HMSP) di urutan kedua, dengan nilai Rp 240 triliun. Urutan ketiga hingga kesepuluh emiten dengan nilai kapitalisasi besar adalah BBCA, PT Unilever Indonesia Tbk (
UNVR), PT Telekomunikasi Indonesia (
TLKM), BMRI, BBRI, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (
PGAS), PT Gudang Garam Tbk (
GGRM), dan PT Semen Gresik Tbk (
SMGR). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Edy Can