KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten kawasan industri dilihat masih akan dapat banyak tantangan, meskipun ada sejumlah sentimen positif yang menghampiri di akhir tahun 2024. Asal tahu saja, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) di level 6% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Oktober 2024. Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga mencatatkan realisasi investasi kuartal III 2024 sebesar Rp 431,38 triliun.
Secara terperinci, realisasi penanaman modal asing (PMA) sebesar Rp 232,65 triliun, tumbuh 18,55 % yoy. PMA masih menjadi penyumbang terbesar realisasi investasi pada periode kuartal III tahun ini, dengan kontribusi sebesar 53,92%. Di sisi lain, BI mencatat kinerja lapangan usaha (LU) industri pengolahan pada kuartal III 2024 tetap terjaga dan berada pada fase ekspansi tercermin dari Purchasing Manufacturing Index (PMI) BI kuartal-III 2024 sebesar 51,54%. Adapun indeks di atas 50 menandakan industri manufaktur sedang dalam fase ekspansi. Meski begitu, indeks PMI BI ini tercatat melambat bila dibandingkan kuartal II 2024 yang mencapai 51,97%. Vice President of Investor Relations PT Surya Semesta Internusa Tbk (
SSIA) Erlin Budiman mengungkapkan, pendapatan prapenjualan perseroan alias marketing sales lahan hingga bulan September 2024 meningkat 2,706% secara tahunan alias year on year (YoY) menjadi 142 hektare senilai Rp 1,749 triliun. “Ini naik dari 5 ha senilai Rp 88 miliar pada akhir kuartal III 2023,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (17/10).
Baca Juga: Pembangunan Properti di Bali Harus Mengedepankan Keseimbangan Kontrak baru anak usaha SSIA, PT Nusa Raya Cipta Tbk (
NRCA), meningkat sebesar 49% YoY menjadi Rp 3,417 triliun hingga akhir September 2024. “Sementara itu, jumlah okupansi kamar perhotelan di akhir kuartal III-2024 meningkat sebesar 9% YoY menjadi 329.035 kamar,” tuturnya. Sementara itu, Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan, keputusan BI untuk menahan suku bunga di level 6% memberikan stabilitas bagi sektor properti industri, terutama dalam hal pembiayaan dan investasi. Di tengah suku bunga yang relatif tinggi, emiten properti industri tetap memiliki prospek positif karena berkurangnya risiko kenaikan suku bunga lebih lanjut. Hal ini dapat memberikan ruang bagi perusahaan untuk menjaga struktur biaya mereka dan menarik lebih banyak investor, terutama dengan catatan realisasi investasi BKPM yang mencapai Rp 431,38 triliun hingga kuartal III 2024. “Sektor properti industri umumnya mendapatkan manfaat dari aliran investasi ini, terutama yang terkait dengan pengembangan kawasan industri dan logistik,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (17/10). Namun, kinerja saham emiten properti industri belum sepenuhnya mencerminkan fundamental keuangan mereka. Kinerja saham SSIA, PT Puradelta Lestari Tbk (
DMAS), dan PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (
KIJA) dilihat menunjukkan stabilitas harga yang cenderung sejalan dengan ekspektasi pasar terhadap perkembangan kawasan industri. Melansir RTI, kinerja saham SSIA sudah naik 183,41% sejak awal tahun alias
year to date (YTD) dan saham KIJA naik 37,31% YTD. Sementara, kinerja saham DMAS turun 0,61% YTD. “Namun, volatilitas di pasar seringkali disebabkan oleh faktor makroekonomi lain, seperti perlambatan di sektor manufaktur,” paparnya. Melemahnya sektor manufaktur memang dapat memberikan tekanan pada segmen lahan industri, karena permintaan untuk ekspansi pabrik atau fasilitas baru bisa menurun. Meskipun demikian, banyak emiten di sektor ini yang mampu mendiversifikasi pendapatan mereka dari segmen bisnis lain. “Segmen bisnis properti komersial, residensial, dan pengelolaan aset, yang masih memberikan kontribusi positif terhadap kinerja mereka,” ungkapnya.
Baca Juga: Tambah Lahan, Puradelta Lestari (DMAS) Masih Lihat Kondisi dan Kesempatan Di kuartal III-2024 dan kuartal IV-2024, kinerja emiten properti industri diprediksi akan tetap solid. Sentimen positif yang akan menopang kinerja mereka di antaranya adalah realisasi investasi yang tinggi, program pemerintah dalam mendorong industrialisasi dan pengembangan kawasan strategis. Namun, tantangan bagi para emiten properti industri masih ada, terutama dari sisi lemahnya pertumbuhan sektor manufaktur yang dapat menekan permintaan lahan industri baru. Untungnya, beberapa emiten seperti DMAS dan SSIA telah mengamankan kontrak besar di segmen kawasan industri, yang dapat menopang kinerja mereka hingga akhir tahun 2024. ”Segmen lahan industri masih menjadi kontributor utama bagi kedua emiten itu, namun pertumbuhan bisnis dari aset lain, seperti pengembangan properti residensial atau fasilitas logistik, juga memberikan buffer yang kuat,” paparnya. Hendra pun merekomendasikan beli untuk DMAS dengan target harga di Rp 179 per saham. Alasannya, karena prospek pengembangan kawasan industri yang kuat dan basis investor asing yang stabil. KIJA juga mendapatkan rekomendasi beli dengan target Rp 200 per saham, karena didukung oleh eksposur yang besar pada kawasan industri di Jawa Barat yang terus berkembang. Sementara itu, SSIA direkomendasikan beli dengan target harga Rp 1.330 per saham. Sebab, portofolio lahan industri SSIA yang besar dan diversifikasi bisnis yang kuat, terutama dari segmen kontraktor dan hotel yang juga mulai pulih. Analis Kiwoom Sekuritas Vicky Rosalinda melihat, kinerja keuangan emiten properti industri secara umum masih bagus di semester I 2024. Namun, laba KIJA di semester I 2024 tercatat menurun 75,69% YoY. Di sisi lain, kinerja saham SSIA dan KIJA yang naik didorong oleh para emiten yang fokus pada ekosistem kendaraan listrik. ”Meskipun kinerja saham DMAS turun, tetapi perseroan masih fokus pada bisnisnya yang menjadi satu-satunya kawasan yang memiliki 15 penyedia data center tier-IV,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (17/10).
Menurut Vicky, untuk KIJA dan DMAS, segmen bisnis yang mendominasi masih berasal dari penjualan lahan industri. Sedangkan, segmen bisnis yang menopang kinerja SSIA justru berasal dari jasa konstruksi. Penahanan suku bunga BI dan realisasi investasi kuartal III 2024 yang sebesar Rp 431,38 triliun juga dilihat akan berdampak positif pada kinerja para emiten properti kawasan industri, setidaknya hingga akhir tahun 2024. Sentimen positif utama penggerak sektor ini adalah penurunan suku bunga, perkembangan teknologi yang mendorong permintaan, kenaikan harga tanah, serta kerjasama emiten dengan sejumlah perusahaan besar. Sementara, sentimen negatif yaitu perlambatan ekonomi global, ketidakpastian geopolitik, dan penurunan permintaan.
“Sayangnya, melemahnya sektor manufaktur dapat memberikan sentimen negatif pada emiten,” paparnya. Vicky pun merekomendasikan
buy on weakness untuk SSIA dengan target harga di Rp 1.280 - Rp 1.300 per saham. Sementara, KIJA dan DMAS masih direkomendasikan
wait and see terlebih dahulu.
Tonton: IHSG Kembali Naik, CEK 10 Saham LQ45 dengan PER Terendah & Tertinggi 17 Oktober 2024 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari