JAKARTA. Kalau Anda memegang saham-saham emiten media, waspadalah. Analis menilai revisi Undang-Undang Penyiaran berpotensi memberi sentimen negatif pada saham media. Maklum, salah satu aturan yang masuk dalam revisi UU adalah soal pungutan dana penyiaran. Christine Natasya, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, menyatakan, industri media akan terkena efek kebijakan ini dalam jangka pendek. "Karena revenue mereka akan berkurang," ujar Christine kepada KONTAN, Minggu (2/7). Memang, saat ini, revisi UU Penyiaran tersebut masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Cuma, Direktur Utama Balai Penyedia dan Pengelolaan Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI) Anang Latif memberi gambaran, pungutan bisa diambil dari total pendapatan kotor iklan setahun lembaga penyiaran swasta.
Besarannya belum dipastikan. Tapi, Anang bilang, agar manfaat pungutan terpenuhi, nilai pungutan ideal 5%. BP3TI akan menggunakan dana pungutan untuk memperluas cakupan televisi free to air (FTA). Ini memungkinkan stasiun televisi swasta memperluas penyiaran sampai ke wilayah pedalaman Indonesia. BP3TI juga berniat menggunakan dana pungutan untuk memperbaiki satelit yang belum bagus. Nantinya, konsep pungutan ini mungkin mirip dengan penerapan kebijakan universal service obligation (USO) yang diterapkan pada industri telekomunikasi. Pungutan USO digunakan untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah terpencil. Konsep pungutan biaya USO yakni sebesar 1,25% dari pendapatan kotor yang dipungut pemerintah. Christine mengakui kebijakan ini dalam jangka panjang akan memperluas wilayah cakupan siar televisi. Hal tersebut memungkinkan meningkatnya minat perusahaan memasang iklan di televisi. Namun, dia memprediksi peningkatan nantinya tidak banyak. "Kebijakan ini bagus untuk jangka panjang, tapi jangka pendek akan jelek bagi emiten," ujar Christine.