Kinerja emiten properti kurang mentereng



JAKARTA. Seperti sektor lain, kinerja industri properti juga melambat di semester pertama tahun ini. Rata-rata laba bersih tujuh emiten properti yang telah merilis laporan keuangan semester I 2015 menysuut 16,3% year-on-year (yoy).

Meski demikian, rata-rata pendapatannya masih tumbuh sebesar 8,3%. Laba bersih sebagian emiten tertekan akibat membengkaknya beban terutama beban selisih kurs, akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).

Maklum, banyak utang emiten properti dalam valuta asing. Kinerja positif hanya ditorehkan dua emiten, yakni PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) dan PT Metropolitan Land Tbk (MTLA). Keduanya masih mencetak pertumbuhan laba bersih maupun pendapatan.


Laba Bersih LPKR meningkat 15% (yoy) menjadi Rp 775,3 miliar dan pendapatan naik 15,5% (yoy) menjadi Rp 4,74 triliun. Adapun laba dan pendapatan MTLA tumbuh masing-masing 7,3% dan 6,7% menjadi Rp 126,2 miliar dan Rp 527,2 miliar.

PT Moderland Realty Tbk (MDLN) juga tertekan. Laba bersih MDLN pada semester I 2015 merosot 58% (yoy) menjadi sekitar Rp Rp 215,3 miliar dan penjualannya turun 21,5% menjadi sekitar Rp 1,35 triliun.

Laba bersih PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) juga anjlok 45% menjadi Rp 1,42 triliun. Namun, pendapatan emiten Grup Sinarmas ini tumbuh 38% menjadi Rp 3,37 triliun. Melorotnya laba bersih BSDE karena penurunan pendapatan lain-lain dari sebelumnya Rp 1,65 triliun menjadi hanya Rp 6,5 miliar.

Kinerja Grup Ciputra menyusut. Laba bersih dan pendapatan PT Ciputra Development Tbk (CTRA) menurun masing-masing 20% dan 10% menjadi Rp 478,81 miliar dan Rp 3,09 triliun. Laba bersih PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) juga turun 16,6% menjadi Rp 755,2 miliar, kendati pendapatan naik 29% menjadi Rp 2,43 triliun. Laba bersih tertekan akibat kenaikan beban.

Sedangkan PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) mencatatkan penurunan laba bersih dan pendapatan masing-masing 11,8% dan 12,1%. Berbeda dengan ASRI, PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) justru mencetak pertumbuhan pendapatan. Tapi beban yang meningkat turut menekan laba bersih sebesar 1,6%.

Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, menilai, melempemnya kinerja emiten properti selama separuh pertama tahun ini seiring perlambatan ekonomi nasional. "Ekonomi melambat menyebabkan daya beli masyarakat turun," kata dia.

Kinerja emiten properti juga melambat akibat tekanan nilai tukar rupiah. Pasalnya, banyak utang emiten properti dalam mata uang dollar AS. Hans memperkirakan perlambatan sektor properti masih berlangsung hingga paruh kedua tahun ini. Penyebab utamanya adalah tekanan nilai tukar rupiah. Dia melihat rupiah masih terus berfluktuasi hingga akhir tahun ini, sampai ada kepastian kenaikan suku bunga The Fed. Tantangan lainnya adalah tingginya suku bunga. Dengan suku bunga tinggi, konsumen menahan diri untuk membeli properti.

"BI masih sulit menurunkan suku bunga sampai ada kepastian suku bunga The Fed," ujar Hans. Ia menilai, industri properti cenderung bubble karena kenaikan harga jauh lebih tinggi ketimbang kondisi daya beli masyarakat. Menurut Hans, properti akan kembali tumbuh jika kenaikan suku bunga sudah jelas dan rupiah kembali normal. Dus, kemungkinan BI menurunkan suku bunga semakin besar.

Hans merekomendasikan buy LPKR dan PWON dengan target harga masing-masing Rp 1.500 dan Rp 600 per saham. Kedua saham ini dinilai lebih tahan menghadapi perlambatan ekonomi karena memiliki porsi pendapatan berulang (recurring income) yang cukup besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie