Kinerja indeks obligasi terkoreksi di awal Mei



JAKARTA. Sinyal negatif menghampiri pasar obligasi di bulan Mei. Berdasarkan data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), indeks obligasi komposit atau Indonesia Composite Bond Index (ICBI) mencatatkan penurunan. Pada pekan pembuka Mei, ICBI terkoreksi ke level 222,89 atau sebesar -0,04% secara week on week (wow) dari sebelumnya 222,98.

Kinerja ini sekaligus menjadi yang paling buruk dibanding pekan pertama bulan-bulan lainnya pada tahun 2017. Pada Januari, pertumbuhan pekan pertama tercatat sebesar 0,85% dari 208,5 ke level 210,27. Selanjutnya, awal Februari masih positif dengan kenaikan indeks 0,33% menjadi 212,74.

Pekan pembuka Maret menjadi yang paling cemerlang, dengan pertumbuhan 0,52% mendorong indeks bertengger di posisi 215,35. Sedangkan bulan lalu, meskipun indeks sempat menyentuh level tertinggi sepanjang masa, pada minggu pertama April indeksnya hanya tumbuh 0,05%.


Analis Fixed Income MNC Securities I Made Adi Saputra mengatakan, tren melambatnya pertumbuhan indeks obligasi komposit sudah tercium sejak memasuki kuartal II-2017, tepatnya pertengahan April lalu. Sehingga, dapat dikatakan koreksi di bulan Mei mewarisi yang terjadi sepanjang April.

Menurutnya, yang jadi faktor utama adalah kejenuhan pasar. Meskipun di sisi lain, arus modal yang masuk atau capital inflow terbilang cukup besar. Namun, tak disusul oleh penurunan yield, malah stagnan di posisi yang sama. Oleh karenanya, cukup banyak investor terutama asing mengambil langkah ambil untung dengan menjual surat utangnya atau profit taking.

Ia menyebutkan, sentimen domestik pun tidak mengirim sinyal yang cukup baik. Sebut saja, salah satunya terkait pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP). Kendati tumbuh hingga di atas 5%, beberapa komponen bisa dibilang cukup mengkhawatirkan. Ia menyoroti tingkat konsumsi sebagai faktor yang cukup besar memengaruhi pertumbuhan GDP. “Ketika tingkat konsumsi turun, bisa jadi jelek juga imbasnya ke perekonomian dalam negeri,” tambahnya.

Di sisi lain, faktor eksternal pun turut mendorong kemungkinan koreksi lanjutan. Salah satunya ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed tahap dua dan tiga yang direncanakan akan diputuskan pada bulan Juni dan September. Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan investor terhadap pasar surat utang Indonesia. Apalagi, jika Indonesia tidak dapat menjaga stabilitas faktor domestik.

“Tidak menutup kemungkinan, investor akan menarik diri dari pasar obligasi Indonesia jika yield yang ditawarkan negara lain di regional lebih menggiurkan,” jelasnya.

Merujuk pada data Asian Bonds Online per Jumat (12/5), yield obligasi seri acuan tenor 10 tahun di Indonesia berada di level 7,26%. Bersaing dengan Vietnam sebesar 6,07% dan Filipina 5,03%.

Akan tetapi, bagi Made, pasar obligasi bisa kembali bangkit terkerek oleh realisasi kenaikan peringkat Indonesia dari Standards and Poors (S&P) sebagai katalis terdekat yakni 16 Mei mendatang. Sebab, dengan realisasi investment grade untuk Indonesia, akan mengundang investor asing masuk. Dengan harapan dapat disusul penurunan yield dan kenaikan harga obligasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie