Kinerja Industri CPO Masih Apik, Begini Dampaknya bagi Emiten CPO



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) saat ini masih diselimuti awan cerah. Meskipun begitu, bukan berarti industri sawit dan para emiten produsen tidak mendapatkan tantangan yang cukup pelik.

Melansir Trading Economics, harga CPO saat ini ada di level MYR 4.769 per ton, sudah naik 5,28% dalam sebulan terakhir. Harga CPO juga tercatat naik 28,16% sejak awal tahun alias year to date (YtD) dan melesat 22,38% secara tahunan alias year on year (YoY).

Nilai ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada Oktober 2024 pun mencapai US$ 2,37 miliar.


Baca Juga: Harga CPO Diproyeksi Menguat di Tahun 2025, Ditopang Permintaan Biodesel

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor ini meningkat 70,90% month to month (MtM) bila dibandingkan bulan sebelumnya, dan secara tahunan meningkat 25,35% year on year (YoY). Adapun, ekspor ini memiliki kontribusi 10,25% terhadap total ekspor non migas Oktober 2024.

Head of Investor Relation Sampoerna Agro Stefanus Darmagiri mengatakan, harga CPO dunia yang mengalami peningkatan sejak pertengahan Agustus 2024 sampai pada saat ini akan memberikan dampak yang positif terhadap kinerja Perseroan di kuartal IV 2024. Sebab, pendapatan CPO dan palm kernel (PK) SGRO berkontribusi sekitar 90% terhadap total pendapatan SGRO pada kuartal III 2024. 

Adapun harga jual rata-rata alias average selling price (ASP) CPO SGRO pada kuartal III 2024 adalah sebesar Rp 12.548 per kilogram. Ini mengalami peningkatan sebesar 9% YoY jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. 

“Dengan adanya ekspektasi harga CPO yang tinggi dan ditopang dengan produksi CPO SGRO yang akan lebih baik pada semester II 2024, kami berharap kinerja keuangan perseroan akan lebih baik pada semester II 2024,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (26/11).

Meskipun belum menyebutkan angka pasti, produksi bulanan SGRO per Oktober 2024 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. 

“Dengan dampak El-Nino yang mulai mereda serta adanya perbaikan produksi di September 2024 dan peningkatan produksi di Oktober dan estimasi November 2024, kami berharap produksi SGRO pada semester II 2024 akan lebih tinggi dibandingkan dengan semester I,” paparnya.

Baca Juga: Harga CPO Rebound pada Selasa (26/11) Pagi, Didorong Kekhawatiran Pasokan

Pada tahun 2024, SGRO memperkirakan produksi akan lebih rendah sekitar 10% YoY jika dibandingkan dengan tahun 2023 yang disebabkan oleh dampak El-Nino yang terjadi tahun lalu. 

Menurut Stefanus, hal ini sejalan dengan estimasi dari GAPKI yang memperkirakan produksi CPO nasional akan lebih rendah kurang lebih 4% - 6% YoY pada 2024.

Untuk target produksi tahun 2025, SGRO sedang melakukan proses penyusunan budget. Namun, produksi tandan buah segar (TBS) dari kebun inti SGRO diperkirakan akan mengalami perbaikan pada tahun 2025. 

“GAPKI juga memperkirakan produksi CPO nasional akan mengalami perbaikan sebesar 4% – 5% pada tahun 2025,” tuturnya.

Founder Stocknow.id Hendra Wardana melihat, harga CPO yang terus merangkak naik hingga hari ini memberikan sentimen positif bagi emiten CPO. 

Peningkatan kinerja ekspor CPO dan turunannya sebesar 25,35% secara tahunan alias year on year (YoY) pada Oktober 2024 dipengaruhi oleh kenaikan permintaan global, terutama dari India dan China, serta kebijakan domestik seperti implementasi B35 dan potensi peningkatan ke B40. 

Emiten seperti PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG), dan PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) mendapat keuntungan dari ASP CPP yang lebih tinggi. 

Sehingga, margin keuntungan mereka berpotensi naik. Namun, di sisi lain, sentimen negatif seperti cuaca ekstrem akibat El Niño masih membayangi produksi. 

“Kondisi ini bisa menghambat pasokan meskipun permintaan sedang naik, sehingga emiten yang lebih efisien dalam pengelolaan kebun akan lebih diuntungkan,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (26/11).

Baca Juga: Simak Ini Serangkaian Katalis Positif dan Rekomendasi Saham Emiten CPO Tahun 2025

Prospek kinerja emiten CPO di Q4 2024 hingga 2025 dilihat Hendra cukup menjanjikan. Kebijakan peningkatan penggunaan biodiesel (B40) di dalam negeri juga akan mendorong permintaan tambahan sekitar 3 juta kiloliter, sehingga memberikan peluang signifikan bagi emiten. 

Selain itu, prospek permintaan global tetap solid, karena negara-negara pengimpor utama, seperti India dan China, terus meningkatkan konsumsi minyak nabati. Namun, tantangan dari El Niño yang diprediksi berlangsung hingga awal 2025 bisa membatasi produksi. 

Emiten dengan efisiensi tinggi, seperti DSNG yang memiliki portofolio produk terintegrasi atau LSIP dengan lahan produktif yang besar, kemungkinan mampu memenuhi permintaan yang meningkat. 

“Meski demikian, kenaikan biaya pupuk dan logistik tetap menjadi perhatian yang perlu dimitigasi,” ungkapnya.

Kinerja saham emiten CPO per hari ini masih tercatat bervariasi. LSIP dan DSNG menunjukkan performa kuat di antara peers-nya. Kenaikan harga saham LSIP dan DSNG cukup mencerminkan fundamental mereka yang solid, terutama dukungan dari peningkatan ASP dan potensi ekspansi permintaan. 

Saham TAPG terlihat masih undervalued meski memiliki kapasitas produksi besar, menjadikannya menarik untuk spekulasi. 

“Di sisi lain, saham seperti AALI bergerak lebih lambat karena pasar mencerminkan kekhawatiran terkait cuaca dan potensi tekanan biaya operasional,” tuturnya.

Baca Juga: Program B40 Jadi Katalis Positif Emiten Sawit, Cermati Rekomendasi Sahamnya

Hendra pun merekomendasikan beli untuk LSIP dengan target harga Rp 1.250 per saham, lantaran margin LSIP yang tinggi dan potensi kenaikan ASP perseroan. Rekomendasi beli juga disematkan untuk DSNG dengan target harga Rp 1.250 per saham, karena portofolio produk DSNG dinilai terintegrasi dan operasional perseroan lebih efisien.

Sementara, TAPG direkomendasikan speculative buy dengan target harga Rp 850 per saham, mengingat sahamnya yang undervaluasi dibandingkan dengan potensi produksi perseroan.

“Sentimen kenaikan harga CPO dan peningkatan permintaan biodiesel menjadi katalis utama untuk mendukung target tersebut. Namun, investor tetap perlu mencermati faktor cuaca dan pergerakan harga pupuk sebagai risiko utama,” papar Hendra.

Head of Investment Nawasena Abhipraya Investama Kiswoyo Adi Joe melihat, harga CPO kemungkinan masih akan naik hingga tahun 2025. Jika ada penurunan, harga CPO kemungkinan tak bakal turun di bawah MYR 4.000 per ton.

“Ini karena permintaan pasar global yang masih kuat akan minyak nabati, sehingga ikut mengerek harga CPO. Di sisi lain, pasokan CPO juga lumayan berkurang lantaran masih masifnya replanting,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (26/11).

Di pasar global, CPO sebenarnya tengah mengalami sentimen buruk akibat Uni Eropa (UE) yang melarang impor produk sawit. Namun, hal tersebut malah bisa semakin meningkatkan harga minyak nabati dan membuat harga CPO semakin terkerek naik.

“Permintaan dan China dan India juga masih tinggi. Selain itu, produksi kita juga akan terserap oleh permintaan untuk kebijakan B40 di dalam negeri,” paparnya.

Meskipun begitu, bukan berarti kinerja saham para emiten CPO naik di tengah sentimen yang cenderung positif ini. Sebab, investor tetap melihat industri sawit fluktuatif dan akhirnya hanya memilih beberapa emiten yang dianggap punya kinerja fundamental yang baik.

“Ke depan, kinerja emiten CPO akan dipengaruhi oleh hasil produksi yang mungkin saja bisa masih landai lantaran masih ada sisa dampak dari El Nino di tahun lalu,” ungkapnya.

Baca Juga: BPDPKS Catat Ekspor Produk Turunan CPO Telah Capai 65% hingga Oktober 2024

Kiswoyo pun merekomendasikan beli untuk TAPG, DSNG, LSIP, dan AALI dengan target harga masing-masing Rp 1.000 per saham, Rp 1.350 per saham, Rp 1.250 per saham, dan Rp 7.000 per saham.

Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana melihat, pergerakan saham SGRO ada di level support Rp 1.985 per saham dan resistance Rp 2.060 per saham. SGRO direkomendasikan trading buy dengan target harga Rp 2.070 per saham dan Rp 2.090 per saham.

Sementara, pergerakan saham AALI dilihat ada di level support Rp 6.150 per saham dan Rp 6.350 per saham. Herditya pun merekomendasikan speculative buy untuk AALI dengan target harga Rp 6.475 – Rp 6.600 per saham.

Selanjutnya: Harga Emas Spot Naik Tipis ke US$2.639,30 Rabu (27/11), Fokus pada Data Inflasi AS

Menarik Dibaca: Hujan Petir Landa Daerah Ini, Berikut Prakiraan Cuaca Besok (28/11) di Jawa Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .