Kinerja Industri Melemah Sepanjang 2024, Begini Tanggapan Hippindo



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) memberikan pandangan terhadap kinerja industri yang melambat di sepanjang 2024. 

"Hal ini bisa jadi disebabkan oleh beberapa hal seperti, adanya Pilkada serentak yang akan dilakukan Desember 2024, lalu pelantikan Presiden juga baru Oktober kemarin dilakukan sehingga para pebisnis masih menunggu paling tidak saat pelantikan Januari 2025 baru mulai ekspansi, Hal  ini yang membuat jadi faktor perlambatan industri," jelas Budiharjo Iduansjah kepada Kontan, Kamis (7/11). 

Lebih lanjut Budiharjo juga memberikan pandangan terhadap kinerja beberapa perusahaan yang terlilit kerugian dan juga PHK di sepanjang tahun 2024. 


Berawal dari kinerja emiten e-commerce PT Bukalapak.com Tbk (BUKA). Asal tahu saja, BUKA masih menanggung rugi bersih mencapai Rp 597,34 miliar per kuartal III 2024 kendati angka ini telah menyusut 23,04% yoy dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah memberikan pendapat bahwa apa yang dihadapi oleh Bukalapak merupakan bentuk dari persaingan bisnis. 

Baca Juga: Semen Baturaja (SMBR) Siap Tangkap Peluang Program 3 Juta Rumah

"Kalau untuk Bukalapak, itu akibat dari persaingan sesama e-commerce. Bukalapak seperti masih mencari konsep sedangkan lainnya,  seperti Shopee dan TikTok Shop bertahan sebab sudah ada bentuknya. Akann lebih baik jika BUKA dapat berpartner dengan Pemerintah atau pihak luar namun harus ada lokal juga," 

Sementara itu, pada kinerja PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), pemegang hak waralaba Kentucky Fried Chicken (KFC), Budiharjo menilai KFC terpukul dengan penjual ayam krispi lokal saat adanya boikot. 

KFC tercatat membukukan kerugian periode berjalan atau kerugian bersih senilai Rp 558,75 miliar per kuartal III 2024. Kerugian ini meningkat 266,58% dibandingkan rugi periode sama tahun lalu senilai Rp 152,42 miliar. Dari sisi pendapatan KFC, juga menyusut 22% menjadi Rp 3,6 triliun dibandingkan periode sama tahun lalu senilai Rp 4,62 triliun.

Sementara apa  yang terjadi pada PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau yang dikenal sebagai Sritex, Budihardjo enggan berkomentar banyak. Dia menilai Sritex masih sangat kuat dalam bisnis pengadaan seragam. Dia menilai, selain adanya impor, Sritex memiliki masalah dalam manajemen dan perbaikan mesin.

"Saya tidak mau berkomentar banyak mengenai Sritex, tapi mungkin Sritex harus membuat produk yang ditujukan untuk anak muda, seperti Uniqlo, misalnya. Jadi ada brand dan toko sendiri dan bisa ekspor. Jadi tidak hanya produksi seragam dan baju tentara," urainya. 

Budiharjo menilai fenomena kinerja industri yang menurun ini pasti akan berimbas pada aksi mengurangi investasi dan biaya. Hipindo berpendapat iklim bisnis dapat diperbaiki misalnya dengan tidak banyak membuat peraturan, membuat ekosistem rantai pasok, dan memperkuat basis perdagangan Indonesia. 

"Tak hanya itu, sektor konsumsi dalam negeri juga harus diperkuat.  Jadi ekspor oke dijalankan, tapi di dalam negeri harus jadi tuan rumah, harus ada program bangga buatan dalam negeri, belanja buatan indonesia. Lalu buat pabrik di indonesia, mengajak orang luar investasi dengan membuka pabrik dengan tujuan pasar dalam negeri, baru diekspor," paparnya. 

Baca Juga: Kinerja Emiten Semen Lesu, Program 3 Juta Rumah Bisa Jadi Stimulus?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati