Kinerja manufaktur ASEAN masih kontraksi hingga akhir 2019



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sektor manufaktur Asia Tenggara (ASEAN)  masih mencatatkan kontraksi hingga akhir tahun 2019. Hal itu ditunjukkan oleh angka Purchasing Managers’ Index IHS Markit yang berada pada level 49,8, atau di bawah batas level ekspansi yaitu 50.

Angka indeks tersebut memang lebih baik dari angka bulan November yang hanya 49,2. Namun, sektor manufaktur ASEAN telah berada di wilayah kontraksi selama tujuh bulan berturut-turut sepanjang tahun 2019.

Myanmar menempati peringkat teratas dengan angka headline PMI tertinggi dari tujuh negara yang disurvei, yaitu 52. Disusul oleh negara Filipina yang mencatat PMI sebesar 51,7, didorong oleh bertumbuhnya permintaan baru secara berkelanjutan.


Baca Juga: Akhir tahun 2019 manufaktur Indonesia masih lesu, begini prediksinya pada 2020

Vietnam mencapai angka PMI sebesar 50,8, juga membaik meski tak signifikan. Sementara Thailand terbilang stagnan dengan angka PMI sebesar 50,1.

Indeks Malaysia berada di posisi netral yaitu 50 pada Desember lalu. Indonesia mencatat penurunan produksi barang selama enam bulan berturut-turut hingga Desember dengan angka PMI pada 49,5.

Begitu juga dengan Singapura yang juga mencatat penurunan kondisi operasional selama tujuh bulan berturut-turut dan hanya mencapai angka PMI sebesar 46,1 pada Desember lalu.

Ekonom IHS Markit Lewis Cooper mengatakan, penurunan indeks ASEAN di Desember lalu memang merupakan yang paling rendah pada periode kontraksi saat ini, dengan produsen barang ASEAN menunjukkan penurunan kecil pada kondisi kesehatan sektor.

Baca Juga: IHSG turun membuka tahun 2020, asing menadah saham ini

Produksi  juga naik untuk pertama kalinya sejak bulan Juni meski tipis, kenaikan bisnis baru untuk pertama kali dalam lima bulan, serta adanya peningkatan kondisi permintaan.

“Namun demikian, secara keseluruhan kinerja tahun 2019 menurun, dengan rata-rata PMI 49,6 turun dari posisi tahun 2018 yang sebesar 50,6. Agar sektor ASEAN dapat memulai dengan dasar yang kuat pada tahun depan, peningkatan total bisnis baru diperlukan, karena kondisi permintaan yang tidak berubah masih menjadi permasalahan utama,” tutur Lewis dalam laporannya.

Editor: Yudho Winarto