KONTAN.CO.ID-JAKARTA. S&P Global mencatat indeks manufaktur Indonesia yang terlihat pada Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada April 2024 berada di level 52,9. Angka ini anjlok 1,3 poin jika dibandingkan dengan capaian Maret 2024 yang berada pada level 54,2. Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P Sasmita memaklumi terjadinya penurunan indeks manufaktur Indonesia pada periode pelaporan.
Hal ini karena Lebaran terjadi di awal April 2024. Di mana, produksi barang manufaktur untuk Lebaran pastinya telah terjadi sejak akhir tahun lalu. Baca Juga:
PMI Manufaktur Indonesia Turun pada April 2024, Begini Kata Menperin Namun yang perlu menjadi perhatian adalah pelemahan nilai tukar rupiah, yang turut memukul kinerja manufaktur Indonesia. Menurutnya, pelemahan rupiah membuat harga impor bahan baku dan bahan penolong untuk sektor manufaktur menjadi mahal yang membuat sektor manufaktur terbebani karena biaya produksi yang meningkat. "Kondisi ini memaksa pelaku usaha sektor manufaktur harus mengurangi produksi yang dikhawatirkan akan membuka peluang lay off karyawan di sektor manufaktur," ujar Ronny kepada Kontan.co.id, Kamis (5/2). Tidak hanya itu, pasca Lebaran dan kenaikan kurs mata uang, konsumsi rumah tangga kembali normal sehingga sektor manufaktur pun harus menyesuaikan diri dengan potensi penurunan permintaan dengan cara melakukan
adjustment produksi. "Ke depan sektor manufaktur masih akan tertekan. Penyebab utamanya adalah kenaikan biaya produksi akibat semakin mahalnya biaya impor bahan baku dan bahan penolong," katanya. Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman menjelaskan bahwa pasca Lebaran memang akan terjadi penurunan indeks manufaktur meski tetap dalam level ekspansif. Menurutnya, penurunan indeks manufaktur ini bukan disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat, melainkan faktor hari libur Lebaran sekitar 10 hari. "Biasa setelah Lebaran sedikit turun, tapi yakin masih bisa ekspansif. Semoga pemerintah tetap menjaga daya beli kelas bawah dan terus menjaga iklim usaha yang kondusif," kata Adhi.
Baca Juga: PMI Manufaktur Turun ke Level 52,9 pada April 2024 Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet pun sepakat bahwa penurunan PMI Manufaktur pada periode laporan karena pada momen Lebaran. Ini menyebabkan peningkatan permintaan tidak setinggi momen Ramadan. "Seperti yang diketahui, saat Lebaran itu momentumnya hanya beberapa hari sedangkan Ramadan itu relatif panjang," kata Yusuf. Di sisi lain,jika dilihat dari permintaan produk ekspor baru, Yusuf memperkirakan secara global juga berpotensi mengalami penurunan karena beberapa hal, termasuk di dalamnya kondisi perekonomian China yang diproyeksikan melambat. "Selain itu beberapa ekspor untuk produk-produk tertentu ke sesama negara yang merayakan Ramadan katakanlah India ataupun Pakistan tentu ikut melandai karena momentum Ramadan itu sudah selesai," katanya. Senada dengan Ronny, Yusuf juga berpendapat bahwa pelemahan nilai tukar rupiah ikut mempengaruhi persepsi para responden yang disurvei dalam indeks PMI Manufaktur.
Hal ini karena depresiasi nilai tukar rupiah akan berdampak terhadap harga input barang yang relatif menjadi lebih mahal terutama barang yang bahan bakunya tergantung terhadap produk impor. "Saya kira di bulan April prospek atau persepsi pelaku usaha itu sudah relatif melandai jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan tentu ini dipengaruhi oleh berbagai faktor dari dalam negeri misalnya faktor pelemahan nilai tukar Rupiah," terang Yusuf. "Kemudian kalau dari luar negeri faktor geopolitik menurut saya menjadi pertimbangan pelaku usaha yang mengisi survei dari indeks ini," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari