Kinerja obligasi korporasi naik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja indeks obligasi korporasi sukses mengungguli indeks obligasi pemerintah. Peluang investasi pada instrumen itu pun jadi lebih terbuka. Tapi, jika sentimen eksternal tak juga berkurang, kinerja indeks obligasi korporasi bisa terseret.

Mengutip Bloomberg, Selasa (27/2), INDOBeX Corporate Total Return mampu mencatatkan pertumbuhan kinerja sebesar 0,93% sejak awal tahun (ytd) di level 255,5373. Di saat yang sama, pertumbuhan kinerja INDOBeX Government Total Return hanya 0,18% di level 240,7349.

Analis Obligasi BNI Sekuritas Ariawan menyatakan, likuiditas yang rendah membuat indeks obligasi korporasi mampu menorehkan kinerja lebih baik ketimbang indeks obligasi pemerintah.


Memang, selama ini pasar obligasi korporasi kurang likuid lantaran frekuensi dan volume perdagangannya yang rendah. Aktivitas perdagangan yang minim itu membuat nilai outstanding obligasi korporasi tidak lebih dari surat utang pemerintah.

Outstanding di pasar obligasi korporasi hanya sekitar Rp 350 triliun saja, sedangkan Outstanding di pasar obligasi pemerintah bisa lebih dari Rp 2.000 triliun,” kata Ariawan kemarin. Alhasil, volatilitas   di pasar obligasi korporasi juga cenderung rendah.

Sisi baiknya, pasar obligasi korporasi relatif tidak terpengaruh sentimen negatif yang berasal dari luar negeri. Misalnya, kenaikan imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun yang saat ini sedang berlangsung. Pergerakan indeks obligasi korporasi pun lebih didominasi oleh faktor jumlah permintaan dan penawaran.

Hal tersebut jelas berbanding terbalik dengan obligasi pemerintah yang sangat volatil ketika terjadi gejolak di pasar global. Selain disokong oleh tingginya aktivitas perdagangan, jumlah investor asing di pasar obligasi pemerintah juga tergolong banyak. “Pasar obligasi pemerintah rentan terkoreksi kalau investor asing banyak lakukan aksi jual,” imbuh Ariawan.

Anil Kumar, Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Indonesia, menambahkan, pada dasarnya, kinerja obligasi korporasi selalu berbanding lurus dengan obligasi pemerintah. Tetapi, karena tidak terlalu likuid, pertumbuhan kinerjanya cenderung lambat. Alhasil, ketika indeks obligasi pemerintah terkoreksi, belum tentu indeks obligasi korporasi langsung mengalami hal serupa. Begitu sebaliknya.

Permintaan naik

Selain itu, keunggulan kinerja indeks obligasi korporasi juga disebabkan oleh peningkatan permintaan dari investor terhadap obligasi tersebut. Hal ini tidak lepas dari gejolak yang melanda pasar obligasi pemerintah dalam beberapa waktu terakhir. Ditambah lagi, kupon yang ditawarkan obligasi korporasi tergolong tinggi dan pergerakan imbal hasilnya stabil.

Masih menurut Anil, salah satu obligasi korporasi yang paling sering diburu investor saat ini adalah obligasi dari perusahaan yang bergerak di sektor konstruksi. Pasalnya, pembangunan infrastruktur tengah gencar-gencarnya dilakukan. Sehingga, penerbitan obligasi oleh perusahaan tersebut marak dilakukan sebagai upaya mencari alternatif pendanaan. Tapi, “Investor tetap harus memperhatikan tawaran kupon dan rating perusahaan penerbit,” sebut Anil akhir pekan lalu.

Senada, Ariawan menilai, keunggulan kinerja indeks obligasi korporasi bisa dimanfaatkan oleh investor dari berbagai kalangan untuk menambah kepemilikan instrumen tersebut. Ini sembari menunggu pasar obligasi pemerintah kembali pulih.

Ariawan mengungkapkan, selama volatilitas pasar obligasi pemerintah masih tinggi akibat pengaruh sentimen eksternal, maka kinerja apik indeks obligasi korporasi berpotensi masih terus berlanjut. Itu dengan catatan, permintaan terhadap obligasi korporasi terus meningkat.

Menurut Ariawan, imbal hasil US Treasury masih berpeluang mengalami tren bullish hingga pengumuman kenaikan tingkat suku bunga bank sentral Amerika Serikat pada Maret mendatang.

Meski begitu, Anil berpendapat, jika tekanan eksternal tidak kunjung mereda, besar kemungkinan indeks obligasi korporasi ikut terkoreksi secara mendalam. Koreksi dalam ini seperti dialami indeks obligasi pemerintah.

Soalnya, sentimen negatif yang utamanya berasal dari perkembangan kondisi ekonomi AS juga memengaruhi pergerakan mata uang rupiah. “Kalau kurs rupiah terus-terusan terkoreksi, maka efeknya buruk untuk seluruh jenis obligasi,” sebut Anil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati