Kinerja penerimaan pajak kuartal-I loyo, CITA: Dampak siklus fiskal tahun pemilu



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Center for Indonesia Taxation Analysis menyoroti kinerja penerimaan pajak sepanjang kuartal-I 2019 yang hanya tumbuh 1,8% secara tahunan (yoy) dengan nilai Rp 248,98 triliun.

Namun, Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo enggan menyimpulkan realisasi penerimaan pajak tersebut sebagai kinerja yang mengecewakan dan tidak akan memenuhi target tahun ini.

"Ada hipotesis bahwa APBN tahun 2019 menghadapi siklus fiskal tahun pemilu, di mana ada kecenderungan untuk memberi (belanja negara naik) dibandingkan menerima (pertumbuhan penerimaan relatif lebih rendah)," terang Yustinus, Selasa (23/4).


Hal ini, menurut Yustinus, terjadi juga dalam APBN tahun 2014 lalu di mana penerimaan pajak hanya tumbuh 6,89%. Pertumbuhan tersebut terendah dari tahun sebelumnya yang tumbuh 10,3% maupun tahun sesudahnya yang tumbuh 7,7%.

Sementara, belanja negara di tahun politik tumbuh sebesar 8,44% atau lebih tinggi dari tahun-tahun setelahnya 2015 yaitu tumbuh 1,64% dan tahun 2016 tumbuh 2,93%.

Selain itu, untuk membandingkan penerimaan pajak dengan kinerja 2017-29018, menurutnya akan menjadi bias lantaran pada kuartal-I 2017 masih ada program amnesti pajak. Menurutnya, kinerja penerimaan pajak tahun ini setidaknya dapat dinilai setelah melewati April di mana batas pelaporan SPT PPh Badan juga sudah berakhir sehingga bisa lebih objektif.

"Dari pola penerimaan tahun 2018 juga kita dapatkan bahwa terlalu dini menilai kinerja pada kuartal pertama. Kinerja April ke depan terlihat lebih stabil untuk menggambarkan kinerja dalam satu tahun," tutur dia.

CITA juga memandang, pola penerimaan pajak di kuartal-I 2019 tak jauh berbeda dengan tahun-tahun lalu. Yustinus menilai, ini menggambarkan bahwa tidak ada kebijakan fiskal yang signifikan yang telah dibuat pada tahun sebelumnya.

Penerimaan pajak di tahun 2019 terhadap APBN pun dinilai tak jauh berbeda dengan penerimaan pajak terhadap APBN 2018.

Jika di kuartal-I 2018 penerimaan pajak mencapai 17,17% dari target APBN, di tahun 2019 capaian kuartal-I turun menjadi 15,78% dari target.

"Penurunan ini masih dalam batas wajar dan dapat ditolerir karena di tahun pemilu pemungutan pajak dilakukan lebih berhati-hati, sekurang-kurangnya sampai dengan April," lanjut Yustinus.

Di samping faktor pemilu, ada pula faktor harga komoditas dan penguatan rupiah dibandingkan tahun lalu yang mempengaruhi penerimaan negara.

Yang paling signifikan, ialah faktor adanya pertumbuhan restitusi pajak yang tinggi dan menggerus penerimaan pajak neto. 

Namun, Yustinus mengatakan, kebijakan percepatan restitusi pajak merupakan fasilitas bagi wajib pajak agar menikmati arus kas lebih baik dan layak untuk diteruskan.

"Yang patut diantisipasi adalah kecenderungan peningkatan restitusi sepanjang tahun. Ini dapat diantisipasi dengan strategi penggalian potensi yang lain agar pertumbuhan tetap terjaga," kata dia.

Selain itu, pasca Pemilu, mestinya juga tak ada lagi hambatan politik maupun psikologis bagi Ditjen Pajak untuk melakukan tindak lanjut data keuangan atau perbankan hasil pertukaran data (AEOI).

Yustinus berharap, segera dilakukan imbauan dan audit berskala besar, masif, dan menyasar para wajib pajak yang nilai datanya signifikan agar berdampak pada penerimaan, serta efek kejut dan jera bagi wajib pajak lainnya.

"Bagi para WP yang sudah patuh tidak perlu khawatir. Kebijakan ini harus menjadi peringatan dan disinsentif bagi mereka yang selama ini tidak patuh," tandas Yustinus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi