Kinerja Portofolio Investasi 2022 Lebih Rendah Dibandingkan Tahun 2021



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Imbal hasil sejumlah portofolio investasi di tahun 2022 lalu tak semanis tahun sebelumnya. Ini tercermin dari kinerja portofolio sejumlah investasi yang menorehkan return lebih rendah dibandingkan return tahun 2021.

Ambil contoh reksadana. Berdasarkan data dari Infovesta Utama pada 29 Desember 2022, kinerja reksadana pendapatan tetap yang tercermin dari Infovesta 90 Fixed Income Fund Index hanya naik 1,39% secara secara year to date (ytd). Imbal hasil ini lebih rendah dibandingkan tahun 2021 sebesar 2,32%.

Sedangkan, reksadana saham yang kinerjanya terlihat dari Infovesta 90 Equity Fund Index malah turun 2,46% (ytd) dan lebih rendah dibandingkan tahun 2021 yang naik sebesar 1,03%.


Lalu reksadana pasar uang yang kinerjanya tercermin dari Infovesta 90 Money Market Fund Index naik 2,69% (ytd), lebih rendah dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 3,26%.

Baca Juga: January Effect di Pasar Saham, Akankah Terjadi Tahun Ini?

Begitu pula kinerja obligasi pemerintah yang terindikasi dari Infovesta Goverment Bond hanya naik 2,59% secara (ytd) di 2022, lebih kecil dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 4,44%.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga cuma naik 4,09% (ytd) di 2022, lebih rendah dibanding tahun 2021 yang naik 10,08%.

Research & Consulting Manager PT Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro menilai kinerja instrumen investasi di tahun 2022 lebih rendah dibanding 2021 karena kurang kondusifnya sentimen dari global berupa kenaikan inflasi dan kenaikan suku bunga acuan.

Nico menyebut, kinerja portofolio investasi saham lebih tinggi dibandingkan instrumen investasi lainnya, karena ditahun 2022 kinerja IHSG ditopang oleh sektor energi dan perindustrian.

"Saham sektor energi naik 103,08% (ytd) dan sektor perindustrian naik 12,81% (ytd). Di sisi keuangan, masih dominan dengan saham big four saham perbankan yang mencatat kenaikan double digit," jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (30/12).

Nico memprediksi, return IHSG bisa mencapai 5,40% di 2023 dengan skenario moderat.

Adapun, prospek portofolio investasi untuk tahun 2023 masih akan dibayangi dengan risiko perlambatan ekonomi dan kenaikan suku bunga acuan pada smester I 2023.

Namun risiko akan mereda setelah memasuki semester II 2023 seiring berhentinya kenaikan suku bunga acuan dan inflasi yang lebih terkendali.

Nico menyarankan bagi investor dengan risk profil agresif dapat masuk ke pasar saham. Sedangkan untuk risk profil konservatif, investasi di reksadana pasar uang diprediksi masih memberikan return yang lebih tinggi dibandingkan 2022.

Untuk tahun 2023 sentimen negatif berasal dari risiko ketidakpastian inflasi karena masih tingginya eskalasi konflik Rusia-Ukraina, dan risiko kenaikan suku bunga acuan.

Sedangkan sentimen positif dapat berasal dari resilientnya data ekonomi makro Indonesia, ada potensi perputaran uang lebih kencang pada musim kampanye di kuartal IV  2023 serta potensi re-opening China yang bisa meningkatkan ekspor impor terhadap negara mitra dagang salah satunya Indonesia.

Selain itu, Nico menyarankan strategi yang sesuai bagi investor konservatif bisa memilih instrumen reksadana pasar uang di tengah fluktuasi risiko.

Sementara, untuk investor agresif bisa masuk ke saham yang big cap, fundamental baik, dan ketika kondisi bearish bisa memilih timing yang tepat untuk buy on weakness.

"Jika ingin investasi di reksadana, investor perlu memperhatikan timing kondisi market yang tepat dan pilih reksadana saham yang isinya produk-produk saham dengan sektor yang lagi prospektif," imbuhnya.

Baca Juga: Menilik Prospek Saham Emiten Keuangan Non Bank pada 2023

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat