JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih saja berada di posisi rawan. Selasa (12/8) kemarin, IHSG bahkan terus tertekan hingga ke titik rendah di level 2.057,88. Kondisi itu tak urung membuat dana kelolaan reksadana ikut tergerus hingga 5.66%.Berdasarkan data Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK), pada tanggal 13 Agustus lalu, total dana kelolaan atau Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksadana telah turun 5,05%. Dana kelolaan reksadana yang tadinya Rp 95,37 triliun turun menjadi Rp 90,78 triliun. Praktis, hal itu juga membuat isi portofolio reksadana ikut turun.Yang paling banyak terpengaruh adalah reksadana saham. Sejak Akhir Juli lalu, NAB reksadana saham turun 12,69% menjadi Rp 30,35 triliun. Padahal sebelumnya, reksadana saham memiliki nilai total NAB sebesar Rp 34,205 triliun.
Direktur Schroders, Michael Tjoajadi menilai, penurunan IHSG terutama akibat tergerusnya saham saham komoditi memang membuat total dana kelolaan reksadana menurun. "Banyak MI yang menempatkan saham sahamnya di sektoral
fund. Jadi, mereka sulit keluar dari sektor tertentu sehingga penurunan NAB tidak dapat dielakkan," papar Michael. Schroders sendiri tidak pernah menempatkan saham-sahamnya di sektor tertentu. "Kebetulan kami tidak punya saham di sektoral
fund," ujarnya. Ia menjelaskan, bahwa Schroders menyebar semua portofolio investasinya di semua sektor. Dengan demikian, NAB Schroders sendiri tidak terkoreksi terlalu banyak terkait dengan tergerusnya indeks. "Penurunannya tidak lebih jauh dari indeks," imbuhnya. Hingga akhir juli lalu, total dana kelolaan Schroders berjumlah Rp 23,5 triliun. Manajer Investasi Mulai Ganti Strategi Guna mengantisipasi tergerusnya NAB reksadana saham, sejumlah manajer investasi mulai menentukan strategi baru. Terutama, bagi mereka yang banyak menempatkan investasi pada saham-saham komoditi atau pertambangan dan CPO. Salah satunya yakni First State Investment. Langkah yang dilakukan yakni dengan menambah portofolio saham-saham perbankan dan
consumer goodsnya. " Kami mulai kurangi saham saham pertambangan" ujar Direktur First State Investment, Putut Endro Andanawarih. Putut bilang dari
overweight, saham saham komoditi diturunkan menjadi netral. Sementara, saham-saham perbankan dinaikkan dari netral menjadi
overweight. Lantas, saham-saham
consumer goods ditambah dari
underweight ke netral. Putut menambahkan, tindakan anstisipasi itu sudah diambil sejak dua bulan lalu. "Kami mulai lakukan
rebalancing atau mengalihkan beberapa aset kita ke saham lain yang memiliki prospek lebih bagus" ujarnya. Hal senada disampaikan Direktur Panin Sekuritas, Winston Sual. Winston bilang, Panin sudah sejak lama memindahkan portofolio reksadana sahamnya dari sektor komoditi ke sektor perbankan. "Kami sudah pindahkan sejak enam bulan lalu," jelas Winston. Tindakan itu dipilih karena Panin Sekuritas menyadari bahwa sektor komoditas memiliki siklus turun naik. “Kalau siklus turunnya datang, maka kita harus siap-siap," kata Winston lagi. Dengan demikian, Panin kini tidak memiliki terlalu banyak saham saham komoditas. "Persentasenya sedikit sekali," ujarnya. Panin sendiri menempatkan komposisi reksadananya 50% di saham dan 50% di pendapatan tetap. Total dana kelolaan Panin sekarang mencapai Rp 2,5 triliun.
Lain halnya dengan Indopremier Securities. Manajer investasi ini memilih untuk tetap mempertahankan potofolio investasi yang telah dipilihnya. Indopremier menempatkan 75% reksadananya di saham. "Sisanya di reksadana campuran," ujar Parto Kawito, Direktur Indopremier Securities. Parto menilai, meski terkoreksi cukup tajam, harga minyak dunia masih memiliki peluang naik lagi. Menurutnya kalau harga minyak cepat mengalami penurunan, maka, kenaikannya juga akan cepat. Meski demikian, Indopremier juga mulai melakukan diversifikasi ke sektor lain seperti perbankan. "Kami juga ikut trading jangka pendek," ujar Parto. Saat ini Indopremier menempatkan portofolio reksadananya sebanyak 17% di infrastruktur, 17% di perbankan, asuransi 23% serta pertambangan sebanyak 13%. Saat ini, total dana kelolaan Indopremier berjumlah Rp 251 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie