KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah isu kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS), kini manajer investasi khawatir ancaman perang dagang antara AS dan China bisa menekan kinerja rekasana pendapatan tetap. Berdasarkan data Infovesta Utama, kinerja indeks reksadana pendapatan tetap turun 0,48% secara
year to date per Selasa (27/3). Guntur Putra Presiden Direktur dan Chief Executive Officer (CEO) PT Pinnacle Persada Investama mengatakan, hasil Federal Open Market Committee (FOMC), Kamis (22/3) sudah diantisipasi pelaku pasar dan hanya memberi dampak kecil.
"Naiknya suku bunga AS tidak menyebabkan volatilitas di pasar, tetapi banyak faktor global lainnya seperti dampak dari perang dagang dan kondisi pasar obligasi AS sekarang yang perlu diantisipasi," kata Guntur, Senin (26/3). Perang dagang kedua negara itu memicu China mengurasi porsi pembelian obligasi AS. Padahal, selama ini obligasi AS paling banyak dibeli oleh China. Apalagi, saat ini, AS mengalami defisit anggaran yang memacu AS untuk menerbitkan obligasi lebih banyak lagi. Apabila permintaan US Treasury berkurang, sementara pasokan US Treasury terus terbit bakal menyebabkan
yield US Treasury naik. "Makanya, US Treasury sempat sentuh
yield 2,9%," papar Guntur. Kenaikan
yield US Treasuy juga mempengaruhi pasar obligasi di
emerging market termasuk Indonesia.
Yield US Treasury yang cenderung naik berpotensi membuat investor asing lebih tertarik berinvestasi pada obligasi AS. "Investor asing berpikir kenapa harus pegang surat utang di
emerging market, risiko US Treasury jauh lebih rendah, dan
yield pun sudah beranjak naik," kata Guntur. Kemungkinan,
capital outflow inilah yang bisa menekan pasar obligasi Indonesia dan mempengaruhi kinerja reksadana pendapatan tetap yang aset utamanya obligasi. Terlebih, porsi asing di pasar obligasi cukup mendominasi. Sementara, Dandi Hidayat Natanegara, Fund Manager PT Phillip Asset Management mengatakan, kinerja reksadana pendapatan tetap bisa tersokong oleh program pembangunan pemerintah yang bisa menggenjot perekonomian Indonesia dan jadi sentimen positif bagi pasar obligasi. Sedangkan, dari eksternal tidak banyak sentimen positif yang bisa membantu kinerja pasar obligasi Indoensia. "Direktur eksekutif S&P belum lama menyatakan Indonesia tidak akan melihat peningkatan
longterm credit rating, sementara itulah yang akan sangat membantu," kata Dandi.
Di PT Pinnacle Persada Investama, Guntur mengatakan strategi yang diterapkan saat kondisi seperti ini adalah pengelolaan secara aktif. "Kami mengambil posisi
short dan
long duration tergantung dengan kondisi pasar dan
interest rate scenario," ujarnya. Ia masih melihat potensi koreksi pada obligasi pemerintah, karena faktor global dan kondisi pasar di AS. Sementara, Dandi menjalankan strategi pengelolaan reksadana pendapatan tetap diPhillip AM dengan berinvestasi pada obligasi yang memiliki volatilitas harga rendah, seperti obligasi korporasi atau obligasi pemerintah bertenor pendek. Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan tertekannya pasar obligasi khususnya Surat Utang Negara (SUN) menyebabkan kinerja reksadana tertekan dalam jangka waktu pendek hingga menengah. “Kini investor masih khawatir juga dengan suku bunga Bank Indonesia yang belum naik padahal The Fed sudah, ” kata Wawan, Rabu (28/3). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini