Kinerja Saham Emiten Dengan IPO Jumbo Tak Semua Menarik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah emiten dengan potensi nilai emisi jumbo dijadwalkan akan segera melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) di sisa tahun 2024.

Misalnya, PT Adaro Alam Indonesia Tbk (AADI) tengah melakukan proses initial public offering (IPO). Anak usaha PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) ini akan melepas sebanyak 778,68 juta saham dengan nominal Rp 3.125 per saham. Jumlah itu mewakili hingga 10% dari modal yang ditempatkan dan disetor AADI setelah IPO.

Dalam masa book building, AADI memasang harga pada rentang Rp 4.590 per saham-Rp 5.900 per saham. Dengan begitu, dari IPO ini AADI berpotensi meraup dana sebanyak-banyaknya Rp 4,59 triliun.


PT Daya Intiguna Yasa Tbk alias MR DIY (MDIY) juga bakal melenggang ke bursa. Perusahaan ritel barang rumah tangga ini menetapkan harga IPO sebesar Rp 1.650-Rp 1.870 per saham. Dengan begitu, MR DIY berpotensi meraup dana segar sebanyak-banyaknya Rp 4,7 triliun. 

MDIY menawarkan 2,5 miliar saham biasa dengan nilai nominal Rp 25 per saham kepada publik. Jumlah itu terdiri dari 2,26 miliar (9%) saham yang dimiliki oleh pemegang saham penjual dan 251 juta (1%) saham baru yang diterbitkan dari portofolio perusahaan.

Baca Juga: MIND ID Ungkap Kelanjutan IPO Inalum dan Kemungkinan IPO Freeport

Tak hanya AADI dan MDIY, ada beberapa emiten yang memiliki nilai emisi jumbo di atas Rp 1 triliun sejak 2022. 

Berikut kinerja saham-saham dengan IPO jumbo sejak IPO hingga penutupan perdagangan Selasa (26/11), berdasarkan data Bloomberg dan BEI: 

Tahun  Emiten  Kode Saham Nilai Emisi IPO Sejak IPO
2022 Global Digital Niaga BELI Rp 7,99 triliun  0.00%
2022 Mora Telematika Indonesia MORA Rp 1 triliun  -1.52%
2022 Goto Gojek Tokopedia  GOTO  Rp 13,73 triliun -78.11%
2023 Pertamina Geothermal Energy  PGEO Rp 9,06 triliun 16.00%
2023 Trimegah Bangun Persada  NCKL Rp 9,99 triliun -32.80%
2023 Merdeka Battery Materials  MBMA Rp 9,18 triliun -33.96%
2023 Amman Mineral Internasional  AMMN Rp 10,73 triliun 436.87%
2023 Nusantara Sejahtera Raya  CNMA Rp 2,25 triliun -33.33%
2023 Barito Renewables Energy  BREN Rp 3,13 triliun 758.97%
Baca Juga: Timbang-Timbang Ikut PUPS AADI atau Ambil Dividen ADRO Saja?

Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan kinerja para emiten tersebut tetap mengacu pada masing-masing sektor industri.

Kenaikan dan penurunan saham para emiten dari awal IPO hingga perdagangan di hari ini juga berkaca dari kinerja fundamental masing-masing emiten.

Misalnya, kinerja saham PGEO, AMMN, dan BREN meroket sejak awal IPO lantaran prospek bisnis mereka yang disukai oleh investor.

“Kinerja keuangan mereka yang performatif pun mampu untuk meningkatkan kinerja saham. Kemampuan itu bahkan mampu membuat BREN sempat masuk indeks global,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (26/11).

Namun, kinerja emiten komoditas juga masih bergantung dengan fluktuasi makroekonomi global. Hal ini juga ditambah dengan sentimen kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Amerika Serikat (AS).

Baca Juga: Tren IPO Perusahaan Nikel Akan Berlanjut di 2025, Ada yang Bakal Melantai Semester I

Trump dipercaya akan menerapkan kebijakan “American First” yang akan meningkatkan kebijakan proteksionisme. Di sisi lain, pemerintahan Trump dipercaya juga akan mengutamakan penggunaan penggunaan energi konvensional, seperti batubara, minyak bumi, dan gas.

Hal tersebut pun bisa meningkatkan potensi harga komoditas dunia, karena meningkatkan permintaan akan sektor energi dan meningkatkan average selling price (ASP) para emiten.

“Dengan sentimen tersebut, otomatis kinerja raihan laba bersih para emiten juga bisa terkerek naik yang bisa membuat saham semakin diminati investor dan semakin likuid,” ungkapnya.

Baca Juga: Jelang Tutup Tahun 2024, Korporasi Gencar Berburu Dana

Di sisi lain, harga saham GOTO dan BUKA tertekan karena kinerja emiten dan industrinya tertekan. Salah satu sentimen yang membuat kinerja kedua emiten tersebut adalah suku bunga yang masih tinggi.

“Emiten teknologi sangat sensitif dengan suku bunga acuan bank sentral. Jika suku bunga tinggi, bisa memicu potensi kenaikan gross transaction value serta total processing value para emiten teknologi,” katanya.

Bisnis e-commerce yang menjadi mesin penggerak bisnis GOTO dan BUKA juga sensitif dengan suku bunga. Jika suku bunga rendah, maka beban pinjaman bisa tereduksi.

“Alhasil, konsumsi masyarakat bisa meningkat dan menggerakkan bisnis e-commerce ke arah positif,” tuturnya.

Baca Juga: BEI Tengah MengKaji Revisi Persyaratan Keuangan Perusahaan yang akan IPO

Di tengah volatilitas pasar, kinerja GOTO dan BUKA masih berat lantaran suku bunga masih tinggi, meskipun ada ruang potensi penurunan suku bunga di akhir tahun 2024.

“Namun, harus tetap masih menunggu mereka mencapai titik profitabilitas agar kinerja saham mereka ikut terkerek naik dan menghasilkan imbal hasil yang baik,” ungkapnya.

Nafan merekomendasikan accumulative buy untuk BUKA dan GOTO dengan target harga terdekat masing-masing Rp 126 per saham dan Rp 88 per saham.

Selanjutnya: Askrindo Jalin Kerjasama Penjaminan Surety Bond dengan Seoul Guarantee Insurance

Menarik Dibaca: 5 Tanda Kulit Butuh Serum Vitamin C, Apa Saja?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati