Kinerja saham sawit masih terasa licin



JAKARTA. Di tengah fluktuasi harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan nilai tukar rupiah pada tahun lalu, bisnis perkebunan kelapa sawit masih mampu bertahan. Para emiten pekebun sawit masih bisa mengantongi laba. PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP), misalnya, mencatatkan pertumbuhan laba bersih sepanjang 2014 sebesar 60,76% menjadi Rp 842,28 miliar.

Pencapaian tersebut turut ditopang penjualan yang meningkat 12,74% (yoy) menjadi Rp 14,96 triliun. Presiden Direktur Grup SIMP, Mark Wakeford menyebutkan industri kelapa sawit Indonesia pada 2014 menghadapi tantangan berupa pelemahan rupiah dan koreksi harga komoditas.

Meski demikian, SIMP tetap mencatatkan kinerja positif seiring kontribusi divisi perkebunan dengan pertumbuhan volume dan naiknya harga jual rata-rata produk sawit. "Juga peningkatan penjualan divisi minyak dan lemak nabati,” ujar Wakeford, dalam siaran pers yang dipublikasikan Jumat (27/2).

Kemudian, anak usaha SIMP, PT PP London Sumatra Tbk (LSIP) juga meraih laba Rp 916,7 miliar pada 2014. Jumlah itu tumbuh 19,13% ketimbang laba 2013 senilai Rp 769,49 miliar. Pendapatannya juga mekar 14,29% (yoy) menjadi Rp 4,72 triliun.

Sedangkan, anak usaha Grup Astra, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) meraup laba Rp 2,5 triliun selama tahun lalu. Jumlah itu tumbuh 38,88% dibandingkan periode sama 2013. Pendapatan AALI naik 28,65% (yoy) menjadi Rp 16,3 triliun.

PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) juga meraih pertumbuhan laba 219,78% (yoy) menjadi Rp 649,69 miliar. Margin laba bersih DSNG pun menanjak dari 5,6% di 2013 menjadi 13,3% pada 2014. Kemudian, margin EBITDA-nya meningkat dari sebelumnya 23,1% ke posisi 27,3%.

Adapun, pendapatan DSNG naik 27,34% (yoy) menjadi Rp 4,89 triliun di 2014. Tapi, ada pula produsen CPO yang berkinerja mengecewakan. Semisal, PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) yang mencatatkan penurunan laba 15,97% (yoy) menjadi US$ 18,42 juta pada 2014. Padahal, pendapatannya masih naik 12,41% ke US$ 170,58 juta, sepanjang tahun lalu.

Analis BNI Securities Yasmin Soulisa menilai, kenaikan laba emiten CPO lantaran harga jual rata-rata CPO pada 2014 naik dibandingkan 2013. Namun, harga jual tersebut secara konsisten turun per kuartal.

Selain itu, analis Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe menyebutkan, para emiten perkebunan diuntungkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah. Pada tahun ini, Yasmin memproyeksikan, produksi CPO tumbuh stabil. Pendapatan emiten perkebunan diprediksi tetap meningkat, meski tipis. “Tahun lalu, pendapatan tumbuh dua digit. Tahun ini ekspektasinya pun sekitar itu,” ucap dia.

Yasmin bilang, masih ada sentimen nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang dapat mempengaruhi kinerja emiten perkebunan. Dia menekankan emiten perkebunan diuntungkan penguatan dollar AS. Pasalnya, harga komoditas berpatokan dalam dollar AS, sementara biaya yang dikeluarkan dalam rupiah.

Yasmin memprediksi, harga CPO tahun ini di posisi US$ 717 per ton. Jumlah tersebut lebih rendah dibanding harga CPO pada tahun lalu senilai US$ 838 per ton. Meski demikian, dia memandang positif niat pemerintah menggenjot produk biodiesel.

Jika hal itu terwujud, maka permintaan CPO domestik bisa melonjak tajam dan harga CPO turut terkerek. Yasmin merekomendasikan AALI, SIMP, dan LSIP. Sedangkan Kiswoyo menyarankan investor membeli AALI, LSIP, dan BWPT.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie